Mohon tunggu...
ARDHIAN CAESAR
ARDHIAN CAESAR Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Enthusiast Dunia Ekonomi dan Saham (IPO Hunter)

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menavigasi Volatilitas Pasar: Analisis Indeks Harga Gabungan (IHSG) Sebelum dan Sesudah Covid

9 Desember 2023   20:43 Diperbarui: 9 Desember 2023   21:21 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pergerakan IHSG 2018-2022 (Sumber: BPS)

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merupakan barometer dari keseluruhan kinerja saham-saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pergerakan IHSG dipengaruhi oleh berbagai faktor makroekonomi dan eksternal. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan analisis mendalam mengenai pergerakan IHSG sebelum dan sesudah pandemi Covid-19.

Sebelum terjadinya pandemi Covid-19, IHSG menunjukkan kinerja yang relatif rendah. Secara khusus, antara tahun 2018 dan 2019, IHSG rata-rata berada di level 6211,623, berfluktuasi di kisaran 5.000-6.000. Namun, periode pasca-pandemi, khususnya 2022-2023, menjadi saksi kebangkitan ekonomi. Para pelaku ekonomi berusaha untuk merevitalisasi sistem ekonomi, yang mengarah pada pemulihan di berbagai sektor. Akibatnya, IHSG mulai menanjak, dengan rata-rata 6917,17 dan bergerak di kisaran 6000-7000.

Selama pandemi Covid-19, IHSG mengalami tren penurunan. Tahun 2018 menandai titik terendah untuk IHSG, dengan indeks bergerak di sekitar 5000 dan rata-rata 6098,58. Penurunan ini terutama disebabkan oleh faktor eksternal. Kebijakan Federal Reserve yang secara agresif menaikkan suku bunga acuan dari 2-2,5% menjadi 2,25%-2,5% menyebabkan aksi jual pada instrumen berisiko seperti saham. Investor memilih untuk menjual saham mereka untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi di tengah kenaikan suku bunga. Selain itu, pasar saham Indonesia juga terpengaruh oleh meningkatnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Perang investasi yang terjadi dan dampak negatifnya terhadap perekonomian Indonesia berkontribusi terhadap penurunan IHSG sepanjang tahun 2018, yang mencatatkan return minus -2,53 persen.

Pada tahun 2019, sebelum pandemi Covid-19, IHSG menunjukkan kinerja yang positif, lebih tinggi dari tahun 2018, dengan rata-rata 6324,66. Meskipun kebijakan Bank Indonesia menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 5,75% sebesar 25 bsp, IHSG berhasil mencatatkan penguatan, berlawanan dengan teori konvensional yang menyatakan bahwa kenaikan suku bunga akan menurunkan nilai IHSG. Namun, penurunan suku bunga BI7DRR menjadi 5,5% sebesar 25 bsp pada bulan Agustus 2019 menyebabkan pelemahan IHSG sebesar 0,97% di level 6328,47. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fluktuasi IHSG sepanjang tahun 2019 sebagian besar dipengaruhi oleh kebijakan diskonto Bank Indonesia, khususnya penyesuaian suku bunga BI7DRR.

Pasca pandemi Covid-19, khususnya di tahun 2022, IHSG mengalami kenaikan yang cukup signifikan hingga mencapai rata-rata 7006,79. IHSG ditutup pada level 6850,62 di bulan Desember, menandai pertumbuhan sebesar 4,09 persen. Titik tertinggi dan terendah untuk IHSG tercatat pada bulan April (7228,91) dan Januari (6631,15). Kinerja IHSG yang kuat pada tahun 2022 menempatkan IHSG Indonesia sebagai bursa terbaik kedua di ASEAN, setelah Singapura. Tren kenaikan ini sebagian besar didorong oleh faktor makroekonomi seperti penguatan pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 5 persen dan stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di level Rp15.560-Rp15.750.

Namun demikian, ketidakpastian yang melingkupi perkembangan tersebut membuat banyak investor asing menarik kembali sahamnya dari Indonesia. Keputusan ini terutama merupakan tindakan pencegahan untuk menghindari potensi kerugian di tengah ketidakpastian yang ada. Faktor eksternal lain yang berkontribusi terhadap tren ini adalah antisipasi Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan, yang menyebabkan penurunan pasar saham global. Selain itu, dari Januari hingga Agustus 2023, Indonesia mengalami tingkat inflasi yang tinggi berkisar antara 5,28 hingga 3,27 persen, melebihi target Bank Indonesia sebesar 1-3 persen. Inflasi yang tidak terkendali ini berkontribusi terhadap penurunan IHSG pada tahun 2023.

Perhitungan standar deviasi menunjukkan bahwa rata-rata fluktuasi IHSG selama tahun 2018-2019 dan 2022-2023 adalah 173,6925. Volatilitas yang tinggi ini mengindikasikan bahwa investor harus bersiap-siap menghadapi potensi kerugian. Volatilitas tertinggi tercatat pada tahun 2018, diikuti dengan penurunan pada tahun 2019 (149,5913), peningkatan pada tahun 2022 saat masa pemulihan ekonomi pasca pandemi, dan penurunan selanjutnya pada tahun 2023 (144,855). Pola volatilitas ini menggarisbawahi dampak faktor makroekonomi dan peristiwa global terhadap volatilitas pasar.

Sebagai kesimpulan, analisis ini memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi IHSG serta potensi risiko dan imbal hasil bagi investor. Hal ini menjadi sumber yang berharga bagi investor dan pembuat kebijakan, menyoroti pentingnya memahami interaksi yang kompleks antara faktor ekonomi makro dan kinerja pasar saham. Ketahanan ekonomi Indonesia, yang dibuktikan dengan pemulihan IHSG pasca pandemi, memberikan prospek positif untuk masa depan. Namun, volatilitas yang tinggi menggarisbawahi perlunya investor untuk berhati-hati dan bersiap-siap menghadapi potensi kerugian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun