Mohon tunggu...
Ardi
Ardi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Swasta Mengabdi 12 Tahun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Tua Adalah Pendidikan Pertama bagi Anak

11 September 2018   07:20 Diperbarui: 11 September 2018   07:37 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Seorang pemulung sekalipun tidak ingin kelak anaknya menjadi pemulung juga. Yang ia inginkan adalah kelak anaknya dapat melebihinya, seperti menjadi bos penadah barang-barang bekas atau yang lainnya.

Orang tua yang mempunyai jenjang pendidikan sarjana, tentu menginginkan anaknya agar bisa berpendidikan yang lebih dari itu. Minimal dapat menamatkan anaknya menjadi master. Itulah gambaran kecil akan besarnya harapan orang tua terhadap anaknya. Namun tidak semua apa yang di inginkan itu sesuai dengan kenyataan.

Bisa saja anak tak sejalan dengan apa yang di inginkan. Terjadilah pemaksaan kehendak. Tindakan ini dapat menjadikan sang anak memikul beban berat yang tak sanggup di pikulnya. Orang tua juga harus mengerti bagaimana kondisi sang anak.

Tulisan ini berdasar cerita teman seprofesi dengan saya. Pada saat pertemuan orang tua dengan guru di sekolah, yang mempunyai program unggulan agar anak didiknya menjadi penghapal, mereka membincangkan perkembangan anaknya; pencapaian apa yang sudah diperoleh dan kemunduran apa yang tengah dialaminya.

Singkat cerita, orang tuanya bersikeras menjadikan anaknya seorang penghapal. Anak tersebut kerap mendapat hukuman dari orang tuanya saat ia tidak mencapai target hapalan di sekolah tersebut. Tapi ternyata orang tuanya bukan seorang penghapal. Ia tidak tahu bagaimana lelahnya menjadi penghapal. Ia tidak mengerti bagaimana bosannya menghapal, yang ia tahu hanya anaknya harus menjadi penghapal.

Tentu ini bukanlah hal yang mudah bagi sang anak. Apalagi ia kerap mendapat hukuman di rumah saat tidak menyetorkan hapalannya kepada pembimbing di sekolah. Walhasil, yang terjadi adalah sang anak banyak murung di kelas, terdiam dan tidak punya semangat untuk menjadi seorang penghapal. Karena sebenarnya yang ingin menjadi penghapal itu orang tuanya, bukan dia.

Orang tuanya saja tidak mampu menjadi penghapal, kenapa harus memaksa? Sah-sah saja memiliki harapan setinggi langit ingin yang terbaik untuk anaknya. Tapi, haruskah memaksanya melakukan apa yang di luar batas kemampuannya? Ini tidak adil. Kini sang guru tidak terlalu memaksanya. Anak itu hanya memberikan hapalan sebisanya.

Bahkan jika ia tidak memberikan hapalannya, sang guru tidak memarahinya. Ia tahu bahwa sang anak sudah cukup stress dengan tuntutan orang tuanya. Sang guru hanya membimbingnya menghapal sebatas kemampuan. Pendidikan tidak bisa dipaksakan hanya karena semata-mata untuk kepentingan sendiri. Untuk keinginan sendiri.

Anak-anak bukanlah robot yang jika diprogram maka ia akan melakukan sesuai program yang dimasukkan padanya. Ia seorang yang punya rasa lelah, jenuh, bosan, ingin bermain dengan teman-temannya dan lain sebagainya.  Seyogyanyalah orang tua memberi panutan bagi anak. Menjadi sosok pahlawan yang dikaguminya, bukan seperti monster yang ditakutinya.

 Komunikasi itu penting untuk menjaga keseimbangan harapan dan kenyataan. Mulailah dari sendiri menjadi figur bagi sang anak. Semoga tulisan ini dapat menginspirasi orang tua memilihkan pendidikan terbaik bagi sang anak. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun