Pendidikan tidak terlepas dari peran orang tua. Sekolah pertama bagi sang anak adalah rumah. Orang tua menjadi gurunya. Mulai dari belajar makan, belajar berdiri, berjalan dan seterusnya.Â
Semua itu yang mengajarkan adalah orang tua. Seyogyanyalah orang tua bisa bekerja sama dengan institusi pendidikan secara baik. Ini dimaksudkan agar sama-sama bisa memonitor perkembangan sang anak.
Seminim-minimnya, orang tua dapat menanamkan kepada anak untuk mencintai guru dan menghormatinya di sekolah. Tidak melawannya dan tidak membantah ucapan guru.Â
Tidak memanjakannya dengan membelikan motor mahal untuk dibawa ke sekolah, atau handphone keluaran terbaru agar dapat pamer dengan teman-temannya. Jika ini terjadi, maka tidak akan ada lagi tragedi guru Budi, yang meninggal dunia karena ulah muridnya yang tidak terima didisiplinkan dalam kelas. Â
Saya melihat adanya kekurangperhatian orang tua pada anak didik dalam hal kerjasama dengan sekolah. Pengalaman saya, ketika anak-anak mengambil hasil ujian di sekolah, ada saja orang tua yang tidak bisa hadir dengan alasan kesibukan pribadi. Mengapa harus orang tua yang mengambil hasil ujian ke sekolah? Itu sebagai bentuk perhatian orang tua pada anaknya.Â
Interaksi orang tua dengan wali kelasnya bertujuan untuk mengetahui sampai dimana kemampuan anaknya dan apa saja kendala yang dihadapi oleh anaknya. Disini, wali kelas akan mendapat informasi terkait anak didiknya dan begitu juga sebaliknya. Selanjutnya dapat diambil kesepakatan bersama bagaimana sebaiknya penanganan yang baik terhadap anak ini.
Namun begitu, masih banyak ditemui orang tua yang mengabaikan momentini. Ini menunjukkan kurangnya kerja sama orang tua terhadap sekolah. Sebaiknya, sesibuk apapun orang tua, sejauh apapun orang tua, mampulah kiranya memberikan waktunya hanya sebentar ke sekolah sebagai wujud kerja sama yang baik. Hal yang tidak diinginkan adalah orang tua yang tidak terima jika suatu saat nanti siswa ini mendapatkan kasus di sekolah, seperti tinggal kelas dan lain sebagainya.
Ada lagi, saat penerimaan siswa baru, tidak sedikit orang tua yang memohon agar anaknya tinggal di asrama sekolah karena kuota yang terbatas. Jika dirata-ratakan, jawabannya adalah agar mereka terawasi.Â
Mereka takut anaknya terjerumus ke dalam pergaulan yang bebas. Masih dipertimbangkan jika calon siswa itu berada di luar kota. Namun yang memohon ini tinggal tidak jauh dari sekolah yang menyediakan asrama.
Jika keumuman jawaban orang tua begitu, dapat disimpulkan --menurut saya- bahwa orang tua mulai 'menjengkali' anaknya. Mengapa harus berhenti berjuang untuk memonitor sang anak?Â
Mengapa orang tua begitu mudah percaya dengan institusi pendidikan yang menyediakan asrama? Asrama sekolah bukanlah 'bengkel' sikap. Bagaimana jika teman-teman yang mereka temui adalah teman-teman yang bukan bersikap baik?Â