"Kenapa bulan juni masih sering hujan ?". "Kok musim kemarau banyak hujan ?". Ini pertanyaan-pertanyaan klasik, dan biasanya ditanyakan berulang setiap tahun. Mayoritas masyarakat kita umumnya masih beranggapan (terdoktrin, lebih tepatnya) bahwa musim hujan itu identik dengan banyak hujan, dan kemarau dengan jarang hujan. Padahal, dalam beberapa dekade terakhir, banyak ditemukan fenomena cuaca dan iklim di wilayah kita yang bisa dibilang menyimpang dari kaidah-kaidah 'musiman' yang umumnya dikenal masyarakat, misalnya Madden-Julian Oscillation (MJO), Indian Ocean Dipole (IOD) dan lain-lain. Pada saat fenomena-fenomena ini terjadi, musim hujan bisa jadi 'kering', dan musim kemarau bisa jadi 'basah'. Dalam tulisan kali ini saya akan sedikit bercerita tentang Indian Ocean Dipole atau yg beken disebut IOD, serta pengaruhnya terhadap cuaca dan iklim di Indonesia. Apa itu IOD ? Sebelum penjelasan yg lebih rumit, mungkin anda pernah mendengar tentang El-Nino Southern Oscillation (ENSO) ? Fenomena lautan-atmosfer di Samudera Pasifik ini sempat beken karena memicu kekeringan panjang di Indonesia pada tahun 1997 silam.  Simply speaking, IOD ini kurang lebih sama dengan ENSO. Perbedaannya utamanya adalah, kalau ENSO dibangkitkan di Samudera Pasifik, maka IOD mengambil tempat di Samudera Hindia. IOD ini sendiri termasuk fenomena yang baru ditemukan (dipublikasikan oleh Dr. N. Hameed Saji dkk. tahun 1999), jadi anda nggak usah minder kalau memang belum pernah dengar (:-P). IOD adalah fenomena lautan-atmosfer di daerah ekuator Samudera Hindia yang mempengaruhi iklim di Indonesia dan negara-negara lain yang berada di sekitar cekungan (basin) Samudera Hindia (Saji et al., Nature, 1999). Sesuai namanya, IOD dikarakteristikkan oleh anomali suhu muka laut atau SST (Sea Surface Temperature) antara 'dua kutub' Samudera Hindia, yaitu Samudera Hindia barat (50E-70E,10S-10N) dan tenggara (90E-110E,10S-0S). Perbedaan anomali SST antara dua daerah ini disebut sebagai Dipole Mode Index (DMI), dan digunakan untuk mengukur kekuatan dari IOD itu sendiri. Periode di mana DMI bernilai positif umumnya disebut sebagai periode IOD positif (IOD+), dan sebaliknya, ketika DMI bernilai negatif disebut periode IOD negatif (IOD-). Seperti halnya ENSO, IOD juga sangat berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di Indonesia. Pada periode IOD+, perairan di Samudera Hindia bagian tenggara umumnya lebih "dingin" (suhu lebih rendah dari rata-rata), di mana perairan di Samudera Hindia bagian barat akan lebih "hangat" (suhu lebih tinggi dari rata-rata). Akibatnya, konveksi (yang merupakan proses awal terbentuknya awan dan hujan) akan bergeser dari Samudera Hindia bagian timur ke arah barat, dan membawa banyak hujan ke bagian timur benua Afrika. Di sisi lain, daerah Samudera Hindia bagian timur yang "ditinggal lari" konveksi tadi (seperti Indonesia) akan menderita kekeringan. Karakteristik periode IOD- adalah kebalikan dari IOD+. SST di Samudera Hindia bagian tenggara akan lebih hangat, sementara di bagian barat akan lebih dingin, sehingga konveksi akan bergerak ke arah timur. Hal ini akan berakibat pada kekeringan di Afrika bagian timur dan curah hujan yang meningkat di Indonesia, terutama Indonesia bagian barat yang berdekatan dengan Samudera Hindia.
- NOAA_OI_SST_V2 data provided by the NOAA/OAR/ESRL PSD, Boulder, Colorado, USA, from their Web site at http://www.esrl.noaa.gov/psd/.
- GSMaP NRT data provided by JAXA, Japan, from their Web site :Â http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/index.htm.
- The first and second image about IOD in this post were acquired from http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod/e/iod/about_iod.html
- Tulisan ini juga bisa dibaca pada http://infohujan.wordpress.com dan http://sketsa-langit.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H