Beberapa tahun ke belakang, pengucapan selamat Natal seringkali diperdebatkan oleh beberapa orang. Pengamat dan media mengatakan bahwa yang mempersoalkan ikhwal Natal biasanya ada di kepala kaum konservatif saja.
Dengan dalih ajaran agama,mereka seakan tidak ingin umat lain merayakan hari besar mereka dengan suka cita dan khidmat.Mereka sering memprovokasi dan menganggu perayaan natal dan itu nyatanya tidak berhasil. Natal kita berjalan dengan aman dan damai , dibantu oleh beberapa pihak.
Jika kita memantau perayaan natal di sejumlah daerah (Kompas online memberitakannya) berlangsung aman dan damai. Di banyak wilayah, umat beragama lain menunjukkan kontribusinya menjamin pelaksanaan ibadah Natal berjalan aman dan damai. Para kaum Islam moderat menebarkan pesan toleransi kepada banyak orang melalui narasi dan foto yang disebarkan via media sosial. Mereka berjejer bersalaman, layaknya merayakan lebaran.
Jika kita perhatikan, keberagaman umat yang ikut memberikan selamat itu tidak saja kaum muslim. Di Salatiga, dimana indeks toleransi cukup tinggi di sana, warga yang beragama Budha dan Islam memberikan selamat. Di sejumlah kota lain seperti Magelang (muntilan) , Kabupaten Malang , dam beberapa lainnya, suasana Natal juga berlangsung semarak dan gembira. Non Kristiani mendatangi rumah-rumah Kristiani dan mengucapkan selamat Natal. Mereka tak lupa memberi buah tangan kepada yang merayakan natal.
Di Indonesia, agama-agama hidup dalam ekosistem yang majemuk. Ini situasi yang tak terhindarkan. Nusantara sendiri berawal dengan ekosistem kemajemukan dengan dominasi Hindu Budha dan kemudia Kristen dan Islam datang ke Nusantara dan masuk dengan damai pula. Tak heran PEW Research Center (2024) mencatat Indonesia sebagai negara paling relijius di dunia.
Tetapi, perkuatan nilai-nilai kebersamaan lintas agama sering mendapat ujian oleh kelompok radikal ekstremis. Dalam konteks perayaan Natal misalnya, menurut mereka memfasilitasi umat Kristen sama saja dengan menggadaikan akidah, tasyabbuh (penyerupaan), toleransi kebablasan, dsb.
Padahal, relijiusitas harusnya tidak berhenti pada tataran teologis, tetapi juga sosial. Hal ini bisa tercermin dari bagaimana umat beragama saling bahu-membahu mewujudkan ruang aman & nyaman dalam perayaan Hari Natal 2024 dan menuju Tahun Baru 2025.
Mari kita wujudkan bersama.
#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H