Beberapa pihak yang menamakan diri kaum yang berfaham transnasional seringkali terlihat seperti ingin memurnikan Islam dan membuat Islam berbeda dengan sebelumnya ketika islam berkembang sejak Nusantara. Dakwah moderat yang melibatkan budaya lokal dan sentuhan yang tepat dengan keadaan masyarakat Indoensia yang pluralis, dinilai tidak sesuai dengan Islam sendiri.
Pada awal 1990, beberapa tulisan ulama moderat dan dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia  yaitu Abdurrahman Wahid, melalui tulisan dan dakwahnya mensinyalir gerakan transnasional  sedang tumbuh di Indonesia. Prakiraan itu benar adanya karena di luar negeri khususnya di Mesia muncul jaringan keislaman transnasional yang sangat hipe yaitu Ikhwanul Muslimin. Di tengah ajaran ahama yang diusungnya, IM sejatinya lebih menyerupai gerakan politik berbasis agama yang menyasar kaum intelektual, khsusnya Perguruan Tinggi. Gerakan ini menyebar dan sampai di Indonesia melalui Australia.
Jaringan IM, lebih menekankan dakwah harokah yang memadukan ajaran agama dengan politik, sangat berbeda dengan dakwah-dakwah moderat yang dikembangkan oleh Nahdatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Hanya saja karena saat itu Orde Baru masih berkuasa, dakwah harokah berkembang dengan cara sembunyi-sembunyi seperti gerakan bawah tanah di banyak Perguruan Tinggi.
Saat era reformasi, dakwah ini muncul ke permukaan dengan sangat mencengangkan karena banyak sekali perguruan tinggi melalui ekstra kurikulernya berbasis pada dakwah seperti ini. Gerakan-gerakan dakwah dengan jargon tarbiyah, liqo', dan sejenisnya banyak ditemukan dibanyak perguruan tinggi terkemuka. Bahkan mereka juga menyasar pendidikan menengah bahkan pendidikan dasar melalui ekstra kurikulernya. Guru-guru yang belum mumpuni secara agama banyak yang ikut dalam gerakan itu dan aktif di dalamnya. Mereka selalu mengusung agenda untuk mewujudkan peradaban Islam yang sesuai dengan Alquran dan Sunnah.
Secara nyata, ini menimbulkan benturan di Indonesia, karena berkeinginan memurnikan agama (puritan) dari pengaruh budaya lokal. Dakwah seperti ini cenderung menimbulkan konfrontatif, intoleran yang akhirnya bermuara pada radikalisme dan terorisme. Padahal sejak berabad lamanya agama tumbuh bersama alias berdampingan dengan budaya lokal, dan terus berkembang seperti itu sampai pada kondisi masyarakat yang harmoni. Â Ini terjadi sampai saat ini meski mereka berlindung pada kajian-kajian eksklusif.
Bagaimanapun dakwah moderat lebih terasa cocok dengan budaya Indonesia. Dakwah ini bersifat dialogis dan multikulturalis sama halnya dengan kondisi Indonesia yang multietnis dan pluralis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H