Pertengahan Juli lalu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperingati hari jadi ke 14. Lembaga  ini memang berdiri pada tanggal 16 Juli 2010. Mulanya adalah sebuah desk di Kementrian Menkopolkam, dan karena memang dibutuhkannya lembaga yang serius menangani radikal dan terorisme, lalu pemerintah segera mendirikan lembaga ini.
Keberaannya pada saat itu tak lepas dari rangkaian aksi teror selama kurun waktu 2000 - 2010 di banyak daerah di Indonesia. Mula-mula adalah bom sporadis pada malam Natal 2000 yang terjadi di banyak daerah. Lalu ada  Bom Bali pertama yang terjadi pada tahun 2002 dan Bom Bali kedua yang terjadi pada 2005. Lalu, kembali di Jakarta, Makassar, Medan dan beberapa daerah lainnya. Aksi teror yang juga menonjol adalah yang terjadi di Sulawesi Tengah dalam hal ini di Poso, Palu dan Tentena.
Ini pekerjaan yang tidak mudah. Aksi teror adalah hilir dari segala sesuatu yang diserap seseorang beberapa tahun sebelumnya, bahwa beberapa puluh tahun sebelumnya. Kita bisa contohkan disini adalah Ditha  dan keluarga mereka sebagai pelaku bom Surabaya yang mengebom tiga gereja sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Ini adalah kejadian yang fenomenal bagi Surabaya karena selama ini Surabaya dikenal punya budaya egaliter, kolektivitas yang tinggi, dan kebutuhan akan harmonisasi masyarakatnya cukup tinggi. Sehingga dengan kejadian bom Surabaya menunjukkan ada benih asing yang tumbuh di masyarakat itu, dan lambat laun berubah menjadi aksi yang mengerikan.
Beberapa media bahkan mencari tahu benih radikal yang masuk ke kepala Ditha. Setelah ditelurusi, benih itu masuk saat Ditha menjadi mahasiswa dan ikut salah satu ekstrakuler di sana. Tentu saja bidang ekstra kulikuler itu bernafaskan agama tapi karena tidak dikelola dengan baner sehingga memungkinkan faham-faham transnasional masuk ke bidang itu tanpa diketahui oleh otoritas berwenang. Belasan tahun bahkan puluhan tahun seperti itu, sampai dia berkeluarga dan menularkan ajran radikal itu ke keluarganya. Bahkan diketahui, guru ngaji atau penasihat spiritual keluarga itu juga dimintai keterangan karena disinyalir mengetahui isi kepada Ditha tanpa berbuat apa-apa.
Pada titik ini, pentingnya pencegahan faham radikal yang menjurus ke aksi terorisme yang menjadi tugas pokok BNPT. Seperti yang saya sebutkan, aksi teror adalah hilir, maka hulunya atau benihnya adalah faham radikal yang masuk ke kepala Ditha puluhan tahun sebelumnya. Lalu benih itu ditularkan kepada istri dan anaknya tanpa bisa dicegah oleh pihak atau orang lain.
Inilah sulitnya pencegahan di hulu itu. Aparat harus memberi faham anti radikal sebelum benih radikal itu masuk ke kepala seseorang. Sehingga apa yang dilakukan BNPT semisal memberi ceramah anti radikalisme disekolah, pondok pesantren atau bahkan saat ceramah jumat adalah hal penting. Dan mungkin akan menjadi hal terpenting bagi keberlangsungan Indonesia emas 2045 yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H