Selama dua dekade ini, kasus perundungan di sekolah makin banyak. Terlebih satu dekade ini, peningkatannya luar biasa. Perunganatau disebut bullying ini banyak dilakukan oleh para murid sendiri dengan sasaran para murid juga. Biasanya mereka melakukannya secara berkelompok kepada seseorang yang sengaja mereka sasar atau kelompok lain yang mereka sasar.
Alasan perundungan ini bisa bermacam-macam. Semisal karena yang mereka rundung merupakan pribadi yang berbeda dengan mereka; seorang yang pendiam, atau seseorang yang sangat sederhana. Saking sederhananya mungkin yang bersangkutan tidak memiliki hape. Karena hal yang remeh temeh itulah yang bersangkutan dibully.
Persoalan perundungan oleh teman-teman sekolah ini lebih banyak punya sisi gelap dibanding sisi terang. Seseorang yang dirundung sampai diserang secara fisik, misalnya, seringkali diabaikan oleh sekolah, bahkan oleh teman-temannya sendiri. Seseorang yang dirundung secara verbal seringkali dinilai secara salah oleh sekolah sebagai kenakalan atau keusilan anak-anak remaja. Dirundung secara verbal seringkali berupa olok-olok karena beberapa hal semisal penampilannya dll.
Di sisi, korban hal itu bisa jadi hal serius. Bisa menjadi luka batin yang sulit untuk sembuh. Kita bisa membaca di beberapa media kenapa seorang siswa sekolah menengah bisa memutuskan bunuhdiri karena keradaannya sebagai anak yatim dan miskin. Atau diolok-olok karena seorang siswa tidak memiliki hp keluaran terbaru. Karena itu dia melukai badannya sendiri. Beberapa korban bisa merasa ketakutan berkepanjangan, sulit tidur dan gejala depresi lainnya. Sebagian lain bisa menjadi traumatik karena masalah itu.
Sekolah dan keluarga harus mengubah mindset soal perundungan dari hal yang tidak serius menjadi hal yang sangat serius. Sangat serius karena kasus perundungan meninggalkan jejak atau luka batin  yang sangat dalam kepada para korbannya. Luka batin atau dalam bahasa media kita sebut trauma, sering berdampak sesuatu yang negatif dikemudian hari.
Karena itu, penting untuk menciptakan budaya sekolah yang inklusif dan mendukung terciptakan suasana saling menghargai dan positif thinking. Edukasi kepada siswa tentang bahaya bullying dan pentingnya empati dapat membantu mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.
Selain itu, orangtua juga wajib membekali anak soal agama di rumah sebagai penangkal hal-hal negatif yang mengintip. Semoga ke depan, semua komponen bisa bersatu padu untuk bisa menciptakan suasana positif untuk anak-anak dan dunia pendidikan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H