Di masyarakat yang majemuk seperti Indonesia perbedaan pendapat tidak bisa dihindari. Tidak hanya perbedaan pandangan antar mereka yang berbeda suku, agama, ras atau daerah asal. Perbedaan tak jarang terjadi di antara mereka yang punya kesamaan suku, agama, ras, dan daerah asal.
Semboyan bineka tunggal ika mesti menjadi simbol mempererat rasa persaudaraan. Meskipun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.
Dengan kata lain, bagaimanapun opini seseorang berbeda dengan orang lain, orang itu harus mendahulukan rasa kekeluargaan. Tidak boleh menghujat, menjelek-jelekkan, bahkan menyakiti/melukai orang lain.
Belakangan, terjadi banyak perdebatan tentang agama dan budaya. Di satu sisi, ada orang-orang yang mengaku beragama sama. Di sisi lain, mereka mengklaim kebenaran praktik keberagamaannya sendiri.
Mereka menyalahkan cara ritual maupun ibadah saudara-saudaranya yang berasal dari agama yang sama! Dalih yang mereka pakai, orang-orang di Indonesia ini menjalankan praktik yang tidak lagi puritan. Sudah banyak inovasi-inovasi dalam beragama di mana hal itu dianggap haram atau bid'ah: mengada-ngada.
Silang pendapat sebenarnya boleh saja terjadi. Tiap orang memiliki argumennya sendiri-sendiri. Namun, tidak perlu membiarkan ini menjadi kebisingan di ranah publik. Pasalnya, sumbu perselisihan bisa dijadikan peluang para pengadu domba. Â
Biarkanlah saudara-saudara yang punya perbedaan praktik beragama melakukan apa yang mereka yakini. Terpenting, yang bersangkutan sudah menyampaikan apa yang menjadi pendapatnya dengan baik. Tidak perlu memaksa atau mengejek.
Kadang kala, ada golongan yang menyebut kalau umat beragama saat ini kerap mencampuradukkan budaya Indonesia dengan ritual keagamaan. Sejatinya, ini bukan pencampuradukkan. Melainkan, harmonisasi dan dialektika antara budaya dan agama.
Terdapat banyak agama-agama yang berasal dari luar Indonesia, dan justru menjadi agama yang dipeluk paling banyak di negeri ini. Tidak bisa tidak, dalam proses penyebarannya ada dialektika. Maksudnya, terdapat kegiatan-kegiatan berbasis kultur sosial yang banyak disisipi praktik-praktik keberagamaan. Di masa lalu, itu mungkin tidak terjadi di negeri asal agama tersebut. Pasalnya, kultur sosial di sana berbeda dengan di sini.
Pemahaman tentang kebersamaan makin menipis jika ego masing-masing orang yang dikedepankan. Mereka yang ingin menang sendiri, merasa pintar sendiri, dan mengaku lebih benar, sering kali menjadi pemicu pertengkaran.