Jika menilik dari sejarah kebangsaan kita, kita dibesarkan melalui berbagai hal. Perbedaan (pluralisme) dalam kebangsaan kita adalah fitrah yang tidak bisa terelakkan. Atas beberapa sebab, kita juga diperkuat dengan aneka perbedaan itu. Kita bayangkan kerajaan yang hidup masa itu punya rentang yang luas yaitu Nusantara, malah ada beberapa masa dimana kita punya rentang seluas Asean kini. Rentang geografis yang sedemikian luas relatif tidak menimbulkan masalah, kecuali beberapa orang yang menginginkan kekuasaan pada masa itu. Jika demikian, konflik akan terjadi.
Pada era Indonesia modern, ada juga konflik yang dilakukan oleh beberapa tokoh Indonesia yang menyebabkan kekacauan bahkan instabilitas  sosial dan politik. Kita pernah mengalami pemberontakan Kahar MUzakar, DI/ TII, Ratu Adil, Gestok, sampai tumbangnya rezim Orde Baru. Sebagian besar dari peristiwa ini adalah konflik antar elit politik yang dampaknya dirasakan oleh rakyat. Gestok misalnya, menimbulkan dampak yang tidak bisa dianggap remah.
Aroma konflik antara orde lama dan orde baru sangat kental sehingga konflik terjadi dan mengorbankan sebagian rakyat. Kita bisa belajar dari sejarah bahwa saat Soeharto menumpas Gestok, maka yang disasar bukan hanya orang yang bertailan dengan Gestok, tapi juga para Soekarnois yang memuja ide-ide Soekarno, dibabat habis pada masa orde baru.
Kondisi ini mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, akan dilihat rakyat. Kita bisa melihat bagaimana  kebanyakan rakyat melihat keturunan orang-orang yang dianggap anggota Partai Komunis Rakyat (PKI) atau simpatisannya yang penuh dengan aura curiga dan tidak bersahabat. Sampai Pemilu tahun 2014, soal keturunan PKI masih saja dihembuskan untuk mencederai salah satu calon. Ini bukti bagaimana konflik di tingkat elite politik, berpengaruh di tingkat rakyat.
Konflik pada budaya kita seringkali tidak disertai dengan sportivitas. Artinya jika salah satu elite politik memang tidak terbukti salah atau tuduhannya salah, tidak langsung mengakui kesalahan itu dan minta maaf. Sehingga secara tidak langsung kita tetap memelihara konflik itu decara tidak sadar.
Sebenarnya kita bisa meniru budaya yang ada di beberapa negara maju seperti Amerika dan beberapa negara Eropa, dimana seseorang dengan sportif mengakui kesalahannya. Dengan sportif mengakui kesalahan, seseorang membuat orang lain untuk kembali bersatu dengan yang lain. Â Dan ini mungkin saja diikuti oleh ribuan rakyat.
Sebaliknya jika elite politik atau para tokoh membiarkan diri untuk tidak menyelesaikan konflik dengan sikap ksatria maka bisa dipastikan perpecahan di tingkat rakyat juga akan terjadi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H