Sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, orang-orang tidak dikekang dengan turan ketat saat membuat konten di internet. Termasuk, saat menyebarkan konten berisi dakwah dakwah Islam. Masalahnya, tidak sedikit konten dakwah yang nuansanya justru hate speech.
Pada sebuah akun media sosial, ada seorang mubaligh, dia menyampaikan dalil-dalil agama, namun ujung-ujungnya menjelek-jelekan pemerintah. Di kanal media sosial lain, muncul seorang da'i yang menyalah-nyalahkan budaya ziarah kubur maupun selametan yang selama ini dipahami sebagai kebiasaan orang-orang tradisional. Sebut saja, kebiasaan orang-orang Nahdlatul Ulama (NU).
Mubaligh dan Da'i itu jelas tidak kompatibel di masyarakat luas. Di satu sisi, mereka mendapat ruang yang luas untuk berekspresi. Di sisi lain, ruang yang luas itu justru digunakan untuk menyindir nyinyir bahkan menyakit saudaranya sendiri. Tidak hanya saudara sebangsa, namun juga saudara seiman.
Di Indonesia ini tidak hanya NU yang dianggap sebagai kelompok moderat. Ada banyak lagi ormas Islam yang dinilai selalu menapak langkah di Islam jalur tengah. Tidak terlalu ke kanan sehingga relatif punya pikiran radikal. Tidak terlalu ke kiri sehingga punya kecenderungan liberal.
Para mubaligh maupun da'i yang hasrat menyalahkan pihak lainnya lebih membuncah dari pada spirit mencari persamaan, seharusnya mendapatkan penyuluhan tersendiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pasalnya, MUI punya tanggung jawab dan instrument untuk melakukan usaha pembinaan tersebut.
Mereka yang terlalu ke kanan ataupun terlalu ke kiri adalah duri dalam daging. Lebih jauh lagi, merekaserupa bom waktu. Mereka yang radikal bisa mengancam keamanan. Mereka yang liberal pasti mengancam tatanan sosial dan moral.
Islam Jalan Tengah, seperti disampaikan pemikir mesir kontemporer Dr Yusuf Qaradhawi, adalah cara berislam yang tidak ghuluw atau berlebih-lebihan. Model Islam semacam ini cocok dikampanyekan maupun diaplikasikan di negara majemuk seperti Indonesia.
Indonesia adalah negara bangsa. Suku-suku yang ada di negeri ini sedemikian banyak. Di mana merekamungkin saja punya agama yang berbeda. Di antara mereka yang punya agama sama pun, kerap kali ritual keagamaannya berbeda. Utamanya, ritual-ritual yang bekenaan pula dengan hubungan sosial kemasyarakat. Hal semacam itu jelas dipengaruhi oleh budaya setempat.
Ziarah kubur dan selametan merupakan dua di antara budaya Indonesia yang sudah disirami dengan nilai-nilai agama. Sayangnya, masih ada saja kelompok yang mempersoalkannya.
Padahal, ziarah kubur, misalnya, tidak merugikan pihak manapun. Justru ikut menggerakkan ekonomi rakyat meski perlahan. Sebagai contoh, para penjual bunga atau pedagang asongan di sekitar pemakaman. Mereka mendapat konsumen karena tumbuhnya kultur ziarah kubur semacam ini.