Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah Ibadah Bukan untuk Berpolitik

22 Februari 2019   18:32 Diperbarui: 22 Februari 2019   18:59 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warga Jakarta --apapun warna politik dan agamanya- mungkin masih ingat suasana Jakarta menjelang Pilkada tahun 2016 lalu.  Suasananya panas, karena tidak melulu menyoal politik yang menyuruh memilih A atau B, tetapi juga karena ada unsure salah satu calon gubernur ditengarai terlibat pada pelecehan pada salah satu agama.

Soal politik itu terungkap di setiap khotbah-khotbah Jumat yang didatangi oleh umat. Para tamir masjid selalu mengingatkan umat agar tidak memilih calon gubernur yang terlibat ucapan menyudutkan agama. Begitu terjadi berulang-ulang , sehingga banyak warga yang merasa gerah dan malas untuk mendengar khotbah. Mereka memutuskan untuk hanya sholat Jumat saja dan tidak ikut mendengarkan khotbah.

Tahun ini Pemilihan Umum terasa berbeda karena selain Pemilihan Presiden juga berlangsung pemilihan legislative tingkat 1,2 dan nasional, juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sehingga bisa diringkas , ada lima blanko yang harus dicoblos oleh warga Indonesia yang berhak.

Kini suasana mirip Pilkada Jakarta itu  terasa berulang lagi. Para khotib masjid kini juga seperti rajin mengingatkan bahwa umat disarankan untuk memilih pemimpin (presiden) dari partai yang tidak mendukung penista agama.  Itu mengarah ke calon Presiden tertentu , meski sang calon itu beragama Islam, serta wakilnya adalah seorang ulama yang sangat disegani.  Itu sama seperti saat Pilkada Jakarta sekitar tiga tahun lalu

Suasana dan isi khotbah para khotib ini tidak pada tempatnya, karena rumah ibadah tidak seharusnya diwarnai dengan khotbah yang sarat dengan muatan politik. Apalagi dengan jelas-jelas menyebut nama dan partai pengusung.

Fenomena itu tidak saja tidak berlangsung di Jakarta saja tetapi juga di banyak wilayah Indonesia. Di pesisir pulau Jaka dan beberapa tempat di Sumatera. Para khotib dan takmir masjid selalu menyarankan hal sama.

Terlepas dari itu,, sang penista agama itu sudah menjalani masa tahanan dan bebas murni. Dia juga telah menyatakan menyesal. Sehingga tak adil juga bagi kita untuk terus menerus mencapnya seperti menanggung dosa yang termaafkan seumur hidup. Begitu juga mengkaitkan ex sang penista agama dengan salah satu partai di Indonesia. Itu adalah sikap yang tak adil. Padahal seperti bunyi pepatah, kita harus adil sejak dalam pikiran .

Marilah kita mulai mencerna diri dan mungkin bisa mengingatkan jika ada masjid yang memasukkan unsure politik sebagai salah satu topic yang diangkat dalam khotbah mereka setiap minggunya. Bahwa masjid harus tempat terbersih dalam menjalankan agama kita yaitu berhubungan dengan yang Maha Kuasa. Dan bukan temoat untuk berpolitik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun