Saat ini dunia maya telah dipenuhi dengan berbagai ujaran kebencian. Berbagai kalangan telah memperikirakan, jelang memasuki tahun politik pada 2018 dan 2019 mendatang, akan mengacaukan kenyamanan di masyarakat dengan menyebarkan berita bohong alias hoax. Kemunculan berita bohong ini tentu bukan tanpa maksud. Jika belajar dari pilkada DKI, hoax muncul untuk memecah suara pasangan calon. Bahkan, hoax juga nyaris memecah belah kemajemukan masyarakat Jakarta.
Akibatnya, ketika sentiman SARA dimunculkan, masyarakat begitu mudah terprovokasi. Atas nama membela agama, jutaan orang turun ke jalan menuntut agar salah satu pasangan calon tidak dipilih, karena tidak relevan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama muslim. Ironisnya, pendapat yang salah ini terus dan sengaja disebarkan di dunia maya hingga saat ini.
Sebentar lagi, 171 daerah akan menggelar pilkada serentak pada Juni 2018 mendatang. Perhelatan politik di daerah semakin panas. Tidak hanya kampanye negatif, kampanye hitam juga mulai muncul di awal 2018 kemarin. Dunia maya yang seharusnya bisa menjadi jembatan untuk mengantarkan informasi, justru menjadi jembatan untuk saling menyerang satu dengan yang lain. Dunia maya semestinya bisa merekatkan tali silaturahmi dan persaudaraan, justru berubah menjadi saling menjatuhkan. Suka tidak suka, inilah fakta yang terjadi saat ini.
Ingat, kita adalah orang Indonesia. Nenek moyang kita dan para pendahulu, tidak pernah mewariskan tradisi saling caci dan maki. Orang tua kita pun juga tidak pernah mengajarkan saling hajar. Sebaliknya, kita justru diajarkan saling menghargai dan memaafkan sejak dini. Jika ada anak kecil berantem, orang tua pasti meminta anaknya untuk meminta maaf. Anak juga diajarkan mengucapkan salam, menyapa orang ketika bertemu di jalan, hingga mencium tangan orang yang lebih tua, merupakan pelajaran untuk saling menghargai.
Jika dari kecil kita sudah bisa saling menghargai, kenapa ketika dewasa masih saja ada pihak-pihak yang gemar mencari kesalahan orang lain? Kenapa masih saja ada pihak-pihak yang menyebarkan informasi menyesatkan? Padahal dampak dari penyebaran informasi yang menyesatkan itu, justru akan membuat masyarakat tidak bisa mendapatkan informasi yang benar. Seperti yang sering dilakukan oleh kelompok intoleran dan radikal. Tanpa memikirkan dampaknya, mereka tetap saja memprovokasi orang lain. Bibit intoleransi dan radikalisme, selalu digunakan untuk memprovokasi orang lain.
Ironisnya, semuanya itu marak dilakukan di dunia maya. Bahkan apparat kepolisian pun terus meningkatkan kewaspadaan, untuk melakukan patroli cyber. Selain untuk memberikan edukasi ke masyarakat, patroli ini untuk melakukan penindakan kepada pihak-pihak yang terus menyebarkan kebencian. Mari kita hentikan semua caci maki ini. Apakah kita sudah tidak bias saling menghargai antar sesama? Apakah kita tidak lagi mempunyai rasa sungkan, rasa kasihan, ataupun rasa malu? Bagaimana mungkin seorang elit politik, seorang tokoh masyarakat, ataupun seorang pemimpin yang selalu saja mempertontonkan perilaku yang tidak terpuji. Tuhan memberikan manusia akal dan pikiran. Tuhan juga memberikan kita perasaan. Kenapa sebagian manusia tidak memanfaatkannya untuk hal-hal negatif?
Menghargai orang lain tidak perlu mengeluarkan keringat, mengeluarkan uang, ataupun mengeluarkan upaya yang berat. Cukup dengan niat dan perilaku yang baik itu sudah cukup. Kita tersenyum atau menyapa orang ketika di jalan, itu juga sudah cukup. Menuliskan status di media sosial dengan pesan-pesan damai, itu juga sudah cukup. Lalu, apa susahnya saling menghargai? Bahkan agama apapun yang ada di Indonesia, menganjurkan untuk saling menghargai antar sesama. Toleransi antar umat beragama dan menjaga kerukunan antar umat, merupakan bentuk saling menghargai antar manusia, tanpa mempersoalkan apa agamanya, ataupun apa latar belakangnya. Mari kita saling menghargai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H