Agama adalah lubang besar hitam yang menganga dalam kehidupan masyarakat kita selama setahun terakhir. Agama, bisa menjadi jurang yang menjerumuskan kita jika kita tidak bisa melawannya sebagai kenyataan "alam bawah-sadar." Konflik di sela Pilkada DKI Jakarta 2017 telah memberikan semacam perasaan bahwa agama adalah isu yang paling mudah untuk membuat orang saling-membenci. Sekaligus, kita sadar bahwa isu tersebut mudah pula muncul dalam percikan seiring dengan berhentinya peristiwa politik tersebut.
Setelah Pilkada DKI Jakarta, kita dihadapkan pada kasus kelompok Saracen yang dianggap menyebarkan kebencian. Seakan-akan, adu domba atas nama SARA ini tak henti-hentinya muncul ke permukaan meski isunya sudah tidak terlalu "laku." Yang tertinggal pada kita kini adalah ingatan bahwa betapa tegangnya situasi sejak November 2016 sampai berakhirnya Pilkada DKI Jakarta dengan kisah penutup dijatuhinya vonis untuk Gubernur DKI Jakarta kala itu, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama, karena dianggap menista agama.
Jika kita melihat apa yang dibicarakan oleh masyarakat dalam beberapa bulan terakhir, nyaris persoalan agama tampak seperti efek samping dari konflik di sekitar Pilkada DKI Jakarta 2017. Muncul pula sindikat Saracen yang dianggap menyebarluaskan kebencian atas nama SARA di media massa. Lalu sejumlah orang yang ingin melakukan shalat Jumat di Borobudur untuk mendukung suku Rohingya di Myanmar karena kasus di Negara Bagian Rakhine itu dianggap sebagai konflik Buddha dan Islam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa keberagaman Indonesia telah menjadi keunggulan sekaligus ancaman. Masa terbaru telah memberikan kepada kita kenyataan bahwa persoalan agama ternyata masih ampuh untuk menjadi alat adu domba. Belajar memang sepanjang hidup. Namun, pengalaman tentang bagaimana agama dibicarakan oleh publik dalam beberapa waktu terakhir seharusnya telah membawa kita ke tingkat yang lebih baik sebagai individu dan masyarakat.
Adu domba SARA telah memakan waktu dan membuat perhatian kita teralihkan dari hal-hal yang pada dasarnya menjadi impian kita semua: kemakmuran. Bagaimana bisa kita menciptakan kemakmuran ketika hasutan gampang memengaruhi kita untuk membuang masa demi melayani kebencian ketimbang bergerak menuju kemajuan? "Ribut soal patung, rebut mengenai SARA. Sibuk mengadu domba antar kita sendiri. Sehingga energi kita habis untuk hal-hal yang tidak penting," kata Presiden Jokowi saat menghadiri Silaturrahmi Nasional di Jakarta Internasional Expo Kemayoran, Jakarta, Agustus silam.
Pada akhirnya, perhatian terhadap kebanggaan kepada bangsa akan membuat kita memiliki daya tahan terhadap adu domba. Politik memang sering mengecewakan, korupsi, pelayanan publik, kebersihan, selalu membuat kita abai membicarakan dan memikirkan cita-cita menjadi negara maju.
Kehendak untuk menjadi negara maju, membuat kebhinnekaan kita akan bertahan sebagai yang hidup sekalipun kehidupan kita demikian peliknya. Bhinneka Tunggal Ika adalah optimisme yang akan membuat kita sadar bahwa di bawah bendera Indonesia kita punya pandangan hidup yang benderang dan jauh ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H