[caption id="" align="aligncenter" width="343" caption="Little Dj"][/caption]
Sebuah film yang menyentuh. Mungkin inilah kesan pertama yang saya tangkap dari film ini. Intinya sederhana, seolah semua orang bisa menangkap maknanya tanpa terkecuali. Siapa pun. Film ini setting-nya pada tahun 1977. Justru karena ke-jadul-annya inilah, yang membuat film ini jadi lebih berwarna. Ketiadaan gadget canggih seperti handphone dan jauh dari keramaian pusat kota, membuat penonton jadi gereget saat ada situasi genting.
Berkisah tentang seorang anak lelaki yang menyukai olahraga Baseball. Hidupnya dipenuhi dengan masa kanak-kanak yang menyenangkan. Sekolah, bermain, dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Namun, aktifitas hidupnya tiba-tiba berubah saat ia harus tinggal di Rumah Sakit.
Ketika sedang bermain baseball, tiba-tiba Tarou terjatuh dengan hidung yang mengeluarkan darah. Begitu pula dengan keesokan harinya, dan esok harinya lagi. Dengan keadaan Tarou yang demikian, sang Ibu akhirnya membawanya ke Rumah Sakit, tempat dimana bibinya Tarou bekerja sebagai perawat.
Hari-hari pertama di rumah sakit, ia merasa tidak betah. Makanan di Rumah Sakit sudah pasti tak seenak masakan ibunya di rumah. Ia jadi tak punya selera makan. Saat mendengar musik yang mengalun pelan melalui sebuah speaker di dalam kamarnya, ia merasa tertarik. Ia lalu mengikuti kemana sumber kabel yang terhubung pada speaker itu.
Hingga sampailah ia di sebuah rumah yang ternyata berisi peralatan semacam di sebuah stasiun radio. Terdapat banyak keping piringan hitam yang disusun rapi dalam dua buah rak tinggi. Ada pula alat perekam, juga sebuah mic, lengkap dengan headset. Tarou merasa tertarik. Sebelum masuk rumah sakit, ia sering mendengar siaran radio sampai hafal di luar kepala, kalimat apa yang diucapkan Dj (penyiar) berikut dengan slogan dari acara yang dibawakan, yaitu Music Express.
Dengan rasa penasaran yang timbul, Tarou lalu mencoba berbicara layaknya seorang Dj di depan mic. Tak berapa lama, setelah ia selesai ‘membuka’ sebuah acara yang telah di hafalnya di radio yang sering ia dengar, tiba-tiba terdengar sebuah tepuk tangan dari arah pintu. Pemilik radio amatir itu ternyata adalah kepala Rumah Sakit tempat ia dirawat. Dari pertemuan itulah ia akhirnya diperbolehkan untuk siaran pada waktu-waktu tertentu.
Sebuah pengalaman yang unik bagi Tarou sendiri, walau suara Tarou hanya dapat di dengar oleh penghuni Rumah Rakit saja. Namun hal itu telah membuatnya merasa senang. Mendapat pendengar yang ternyata antusias menunggunya untuk siaran.
Film ini sederhana. Sebuah arti hidup bagi seorang bocah lelaki penyakitan yang belum punya cita-cita yang tinggi. Pertemanan, kisah cinta, masa kanak-kanak yang polos, perasaan tulus, harapan, dan semuanya. Setelah menonton film ini, saya merasa hidup itu sepertinya akan indah jika kita mengerti makna hidup itu sendiri. Mengerti untuk apa kita hidup. Mengetahui siapa saja yang tulus mencintai kita. Tahu siapa saja yang menantikan dan merindukan kita.
Ikatan saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya memperlihatkan betapa manusia memiliki perasaan kasih sayang yang dalam antar sesama. Manusiawi dan sangat lumrah. Kepada orang tua, kepada teman, bahkan kepada seorang nenek yang tak pernah bicara pada siapa pun. Namun film ini menggambarkan apa yang sering kita rasakan dengan caranya yang sederhana. Mengabulkan beberapa permintaan teman dengan cara yang menyentuh.
Namun satu hal yang membuat saya sangat ingin mengkritisi film ini dengan tanda cetak tebal adalah, film ini tidak mencapai klimaks. Kisah menyentuh yang sederhana itu dibuat seperti kurang membawa penonton untuk mengatakan film ini dua jempol. Maknanya memang tersampaikan, namun perasaan memuncak saat menonton beberapa adegan itu tidak memuaskan.
Seperti ada sebuah adegan sedih, yang sedihnya tak sampai membuat penonton menangis. Hanya berkaca-kaca saja, setelah itu sudah, tak ada perasaan sedih itu lagi. Sama seperti yang dirasa oleh seorang teman yang telah lebih dulu menonton film ini.
Layaknya debu tebal selama berbulan-bulan yang langsung hilang ketika hujan turun. Padahal penonton menginginkan hujannya hanya gerimis saja. Sambil menikmati aroma tanah kering dan debu yang menguar karena ditimpa air hujan.
Pun begitu halnya dengan perasaan bahagia ketika menonton beberapa adegan yang menyenangkan. Hati seolah tidak ikut membuncah senang dan perasaan seperti tak larut mengikuti alur cerita film ini. Tak hingga membuat penonton merasakan apa yang ingin disampaikan pembuat film. Tidak mencapai klimaks. Seperti perasaan senang dan mengharukannya, hanya sampai nilai 80, tidak sampai 100.
Ada lagi. Kelak ketika dewasa, teman dari seorang bocah lelaki itu akhirnya memilih untuk bekerja di sebuah stasiun radio. Walau pekerjaan yang sulit mendapat pendengar maupun penggemar karena on air nya pukul 3 pagi, namun ia tetap berjuang dalam pekerjaannya. Menurut saya ini terlalu berlebihan. Seperti ia tak bisa move on dari masa lalu. Bahkan ia sampai mengunjungi rumah Tarou yang kamarnya pun tak berubah sejak ia kecil dulu.
Dalam kehidupan nyata sepertinya memang ada orang-orang yang sulit keluar dari masa lalu. Atau bisa jadi, ia memang terinspirasi dari kisah nostalgia masa lalu yang membuatnya selalu antusias untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan dengan radio.
Kekurangannya itu saja menurut saya. Selebihnya film ini sangat mengajarkan arti sebuah kata tulus. Bagi yang ingin melembutkan hatinya, bolehlah film ini jadi salah satu dari berbagai deretan film yang bagus untuk ditonton. Semoga bermanfaat. [Ardhani Reswari]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H