Mohon tunggu...
Andi Ramadhan
Andi Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis lepas di Kompasiana

Datang berlindung waktu susah dan senang. Tumpang berlindung waktu susah dan senang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

al-Qur'an dibakar. Pantaskah kita marah?

10 September 2010   20:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:18 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belum lama ini kita dikejutkan dengan ajakan dari seorang pendeta Kristen, Terry Jones, untuk membakar kitab suci ummat Islam, walau kemudian rencana itu dibatalkan. Ajakan gila itu ia cetuskan sebagai bentuk protes atas rencana pembangunan sebuah pusat Islam didekat lokasi peristiwa 11 September 2001, sebuah peristiwa serangan  yang merenggut sekitar 2900-an nyawa tidak berdosa.[1] Pemrotes menganggap bahwa dengan dibangunnya pusat Islam itu akan melukai perasaan keluarga korban serangan tadi. Banyak yang kemudian mengecam ajakan Pendeta Terry itu, namun tak sedikit pula yang mendukungnya. Diantara orang-orang yang mengecam dan menyayangkan ajakan itu pastilah termasuk kita para pembaca Kompasiana ataupun kebanyakan orang di Indonesia. Kita menganggap bahwa penolakan dan rencana pembakaran itu sebagai bentuk ketidaktoleransian orang-orang di AS sana. Banyak dari kita disini melakukan demonstrasi dan kecamana memprotes rencana itu. Kita tau, bahwa ummat Islam di AS termasuk golongan minoritas disana. Diperkirakan hanya terdapat 0.6% orang beragama Islam diantara sekitar 310-jutaan warga AS. Namun dengan diberikannya izin pembangunan pusat Islam di jantung kota New York, kota terbesar AS, menunjukkan bahwa pemerintahan disana telah menunjukkan keberpihakannya kepada semua golongan, tak terkecuali minoritas. Tentunya setelah meninjau dan memeriksa berbagai syarat yang dipenuhi. Begitupun sesungguhnya di Indonesia, Saya merasa bahwa minoritas cukup dihargai disini. Bagi golongan yang ingin mendirikan rumah ibadah ataupun pusat kegiatan lainnya tetap diizinkan asal telah memenuhi persyaratan dan peraturan pemerintah. Tapi itu baru ditingkat pemerintahan atau birokrasi. Bagaimana dengan masyarakatnya? Ternyata rencana pembangunan pusat Islam itu cukup banyak ditentang oleh masyarakat AS. Bahkan rencana pembangunan pusat Islam itu telah memicu kekerasan disana, dimana seorang sopir taksi ditikam setelah mengatakan kalau ia seorang Muslim. Selain itu, pembakaran terhadap peralatan pembangunan sebuah masjid di Tenesse juga terjadi.[2] Seperti itu AS, seperti itu pula di Indonesia. Sudah lazim kita dengar dan saksikan bagaimana bentuk penolakan kita sebagian ummat Islam terhadap keberadaan rumah ibadah ummat dari agama lain. Tak jarang bentrokan terjadi dalam protes yang dilakukan. Penyegelan dan pembongkaran secara paksa seakan menjadi biasa walaupun mereka telah mengantongi izin dari aparat setempat. Kita selalu katakan, "mengapa harus dibuat ditengah lingkungan Muslim? Mengapa tak mencari tempat lain?." Rencana pembakaran al-Qur'an ini seakan menyadarkan kita sebagai mayoritas disini, bahwa minoritas kita disana juga mengalami penolakan terhadap rencana pembangunan pusat Islam. Mayoritas masyarakat AS menolak karena menganggap bahwa pusat Islam itu terlalu dekat dengan bekas reruntuhan serangan 9/11 dan akan melukai keluarga korban peristiwa itu. Protes ini kemudian diluahkan oleh pendeta Terry Jones dengan merencanakan pembakaran al-Qur’an pada peringatan 9/11 tahun ini. Atas berbagai kejadian itu, masih pantaskah kita untuk marah apabila al-Qur’an benar-benar dibakar? Jawabnya adalah sangat PANTAS! Karena itu mencerminkan tindakan tidak beradab dan sangat melecehkan. Sebab al-Qur'an bukanlah kitab suci yang mengajarkan kebencian. Pembakaran kitab suci, pembakaran dan penghancuran rumah ibadah benar-benar tindakan tidak beradab. Lalu muncul pertanyaan lain, apakah kita pantas untuk marah apabila terjadi penolakan atas rencana pembangunan pusat studi Islam disana? Saya kira jawabnya TIDAK! Sebab apa? Sebab kita sendiri sebagai masyarakat belum dapat menerima keberadaan rumah ibadah ummat lain yang akan didirikan walaupun telah mendapatkan izin dari pemerintah, apabila kita merasa tidak sreg. Kita sendiri masih sulit untuk hidup berdampingan dengan menunjukkan rasa toleransi yang tinggi. Bukankah seharusnya kita mengikuti aturan hukum yang berlaku? Lalu untuk apa kita marah bila ada penolakan atas rencana pembangunan itu? Apabila kita menempatkan diri sebagai mayoritas dan minoritas, ada baiknya apabila kita turut lebih menanamkan rasa toleransi dan saling mengerti dalam diri kita. Saya kira atas rencana pembangunan pusat Islam di kota New York itu alangkah eloknya bila dipindahkan ke lokasi lain yang lebih aman dan tidak menimbulkan penolakan ataupun perdebatan. Bila sebagian besar masyarakat menolaknya, untuk apa dipaksakan? Bukankah hidup berdampingan dengan damai itu lebih baik? Untuk apa bangunan tetap didirikan, namun keharmonisan dengan golongan lainnya terus menerus terancam kedepannya? Mari bersama kita tunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun