Baru saja Saya tiba dari nonton bareng bersama teman-teman kuliah. Sampai kost, langsung online demi menuangkan unek-unek setelah menonton film apik, Avatar. Dikisahkan, adalah Pandora, sebuah bulan ekstraterestrial yang rindang dengan kehidupan yang unik: banyak makhluk cantik, tetapi banyak juga yang mengerikan. Pandora juga merupakan tempat tinggal suku Na’vi. Mereka adalah suku humanoid yang primitif, tetapi secara evolusi lebih maju dari manusia. Dengan tinggi tiga meter, dengan ekor dan kulit berwarna biru, Na’vi hidup dalam kedamaian. Namun itu hanya sesaat, sebelum makhluk lain tiba, makhluk yang dikata lebih cerdas, memiliki akal guna berfikir, memiliki kemampuan daya cipta yang tinggi: manusia. Manusia dalam film ini dikisahkan menjajah suku Na'vi yang tinggal di Pandora adalah demi memperoleh mineral langka yang disebut unobtainium. Unobtainium memproduksi gaya magnetik yang kuat dan vital untuk memproduksi komponen kapal angkasa bumi yang maju. Sementara unobtainium sangat langka di bumi, jumlah unobtainium sangat banyak di Pandora.[1] Perang pun terjadi, manusia yang memang dasarnya gak pernah mau kalah datang menjajah. Peralatan canggih diturunkan, robot, senjata-senjata istimewa, pasukan hebat diterjunkan. Perang yang tak seimbang terjadi. Senjata canggih nan modern dibalas dengan busur panah, tombak, dan lainnya yang bisa dimanfaatkan untuk membalas. Sungguh sedih, menyaksikan penduduk pribumi, suku Na'vi, harus kehilangan orang-orang terdekat mereka, rumah yang hancur, lingkungan yang rusak. Lengkap sudah. Tapi agaknya alam memihak pada mereka, keadaan berbalik, Eywa bersama mereka! Eywa mengirimkan bantuan dengan mengerahkan hewan-hewan di Pandora melawan kesombongan manusia. Ibarat Ababil di masa Nabi. But, hey! Itu fiksi. Kita ke dunia nyata, adalah Palestina, tanah terjanji yang menjadi sengketa. Kedamaian masih sulit dijumpai disana. Berbeda dengan Pandora, Palestina bukanlah negeri yang penuh dengan keindahan layaknya Pandora, sejauh ini dari literatur yang Saya baca. Walau mungkin ada gas alam dan minyak, tapi seharusnya bukan alasan untuk menyerang dan menjajahnya secara mebabi buta. Tapi itulah yang terjadi. Bila di Pandora manusia menyerang makhluk dari jenis yang berbeda, maka yang terjadi di Palestina adalah manusia menyerang manusia, dari jenisnya sendiri, dalam bentuk sebuah negara: Israel. Persamaannya yang paling mencolok dengan kisah suku Na'vi di Pandora adalah ketidakmampuan rakyatnya membalas serangan yang dilancarkan penjajah. Bila suku Na'vi menggunakan senjata seperti panah dan tombak, di Palestina sebagian besar mereka menggunakan batu dan ketapel sebagai senjata: sama lemahnya. Sedangkan Israel, menggunakan senjata yang lebih canggih.[baca ini] Untuk mencapai kemenangan, para petinggi dan rakyat Na'vi bersatu dalam melawan penjajahan. Mereka mengesampingkan ego pribadi. Wajarlah bila alam-pun bersama mereka melalui kuasa Eywa. Agaknya hal ini sulit terjadi di Palestina bila petingginya sibuk mengurus kepentingannya yang ini itu dan berada dibawah bayang-bayang penjajah. Tidak bisakah mereka bersatu? Kita jangan berharap apa yang terjadi di Pandora bisa terjadi pula di Palestina. "Eywa" kita takkan mengerahkan Ababil sebelum kita sendiri berusaha, bersatu![baca ini]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H