Diambil dari blog saya di www.ardhanareshwari.com ENTAH karena penambahan variasi menu saja ataukah ada kaitannya dengan meletusnya gunung Merapi kemarin senja (26/10), hari ini menu makan siang di kantor adalah gudeg. Sejujurnya saya tidak begitu menyukai makanan ini, biasa saja, bukan masuk daftar menu favorit. Tapi hari ini gudeg yang saya makan terasa begitu enak. Mungkin karena terhidang hangat. Tapi sayangnya, enak di lidah, tapi di hati sedih rasanya. Sepagian saya membuka portal berita di Internet, dan semuanya mengabarkan tentang erupsi Merapi dan Mbah Maridjan yang dikabarkan meninggal dunia. Sedih. Yogyakarta bagi saya adalah rumah ketiga setelah Palembang dan Medan jika dalam arti fisik -house dalam bahasa Inggris-. Namun Jogja juga adalah rumah -home- kedua, mengingat Jogja adalah kota kedua yang paling lama saya tinggali selama hidup saya setelah Palembang. Berita-berita yang saya ikuti memang masih simpang siur, terakhir dikabarkan sudah dilakukan tes DNA. Tapi banyak pula yang meyakini bahwa salah satu jasad yang ditemukan adalah jasad Mbah Maridjan, melihat dari ciri fisik dan pakaian yang dikenakannya. Foto jasad yang diduga adalah jasad Mbah Maridjan yang sedang dalam posisi sujud pun beredar. Terlepas benar atau salah berita tersebut, waktu juga yang akan menjawabnya. Jikapun kabar tersebut benar adanya, Mbah Maridjan tidak akan pernah mati di hati setiap orang yang mengenalnya. Keluhuran budi, komitmen, kesetiaan, dan kesederhanaanya akan menjadi kenangan bahkan bagi orang seperti saya yang tidak mengenal beliau secara pribadi sama sekali. Kecintaannya pada pekerjaannya patut ditiru oleh orang-jaman-sekarang yang sering mengeluhkan pekerjaan mereka. Padahal sebagai abdi dalem Kraton, penghasilan Mbah Maridjan tentu tidak seberapa. Saya pernah membaca, salah satu alasan beliau tidak mau 'turun' adalah agar masyarakat tidak panik. Kalau juru kuncinya saja sudah turun gunung, bagaimana reaksi masyakarat sekitarnya. Alasan lain, tentu saja, karena komitmen pribadi mbah Maridjan sendiri untuk tidak akan meninggalkan Merapi apapun yang terjadi. Jika memang timbul korban karena keputusannya untuk tidak 'turun' ini, semua tidak lain karena ajal yang memanggil. Wasior banjir. Mentawai tsunami. Jakarta dengan hujan-banjir-macetnya. Merapi meletus. Sungguh, Tuhan masih sayang pada kita. Kita diingatkan terus menerus. Manusiawi, mudah sekali tergoda, lupa lagi, dan Tuhan masih juga mengingatkan. Bagaimana jika Tuhan sudah tak peduli lagi? Nauudzubillah... Mbah Maridjan dan Merapi, bersanding abadi. Ada cinta dan pengabdian disana yang semoga dapat di contoh oleh pemimpin negara ini untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa. Jauh didalam hati, kami -rakyat Indonesia- sangat mencintai negeri ini. Kalaupun kami tumbuh dan terlahir menjadi bangsa yang permisif, yang menurut saja dengan apapun 'kebijakan' pemerintah, yang 'nrimo' dengan apapun ketidakadilan yang menimpa, tetap saja rasa cinta itu selalu ada. Bersemayam dalam benak. Berharap dan berdoa yang terbaik. Karena berdoalah yang paling mampu kami lakukan. Waktu akan berlalu. Masa akan berganti. Merapi, tetap akan berdiri gagah. Bergandengan dengan Merbabu yang selalu setia disampingnya. Merapi yang fluktuatif dan aktif, diredam oleh Merbabu yang tenang dan pendiam. Seharusnya begitulah hidup, seiiring sejalan, harmonis, dan saling melengkapi. Indonesia tanah air beta Pusaka abadi nan jaya Indonesia sejak dulu kala Tetap dipuja-puja bangsa Disana tempat lahir beta Dibuai dibesarkan Bunda Tempat berlindung di hari tua Sampai akhir menutup mata Jakarta, 27 Oktober 2010. Rindu Jogja. [caption id="attachment_583" align="aligncenter" width="300" caption="Foto di Pasar Burbah, Merapi. Sekitar Mei 2009."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H