Mohon tunggu...
Ardhana Rachman
Ardhana Rachman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pelajari langkah yang salah di masa lalu, dan benahi kesalahan tersebut demi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

RUU Pilkada Bikin DPR jadi Budak Partai?

19 September 2014   21:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:12 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DPR dipilih oleh rakyat. Secara harfiah, merekalah wakil kita dalam menyalurkan aspirasi. Tetapi pasca “head to head” pilpres 2014, DPR tidak lagi mau mendengar rakyatnya. Mereka tunduk dan patuh terhadap partai dengan motif ingin menguasai negeri?. Suara-suara rakyat bukan lagi menjadi bagian “komoditas” dalam gedung parlemen. Namun, parpol koalisi bertendensi “dominasi” NKRI menjadi taruhan nurani mereka agar “komoditas” parpol mereka terbeli.

Berbagai media menyoroti detik-detik pengesahan RUU pilkada yang mereka susun. Media juga menyoroti dinamika rakyat yang menolak akan RUU tersebut. Suara rakyat lantang berteriak agar RUU pilkada ini dibatalkan. Rakyat tahu, RUU ini berisikan mengenai pemilihan bupati/walikota hingga gubernur dipilih oleh DPRD. Tapi rakyat tidak tahu apa motif dibalik RUU pilkada ini. Apakah motif haus akan kekuasaan. Apakah motif bagi-bagi kekuasaan. Apakah motif penyanderaan program-program presiden terpilih 2014.

DPR-RI seolah menutup mata dan telinga akan RUU pilkada ini terhadap rakyat jelantah seperti individu penulis artikel ini. Namun mereka membuka mata dan telinga untuk sesama penghuni parpolyang mengatasnamakan rakyat. Mereka mengatakan ada 332 pemimpin daerah terjerat kasus kriminal agar RUU pilkada ini sah. Mereka lupa, ada ratusan juga pemimpin daerah yang berprestasi. Apakah ini tanda nurani mereka telah mengalami distorsi?

Kini, kemana lagi rakyat pasca reformasi harus menyalurkan aspirasi. Karena wakil-wakil dalam parlemen mulai abai. Mereka tunduk terhadap partai koalisi bertendensi ”dominasi” NKRI. Rakyat juga tidak berani mengadu kepada pucuk pimpinan negeri ini. Karena beliau kini identik dengan pucuk pimpinan partai penguasa berlambang segitiga merah putih.

Bila benar kini DPR budak partai?. Dimana letak nurani wakil kami. Dulu andalah pembuat regulasi agar demokrasi berjalan di negeri ini. Demokrasi di mata kami adalah memilih langsung sesuai nurani. Demokrasi di mata kami adalah datang pagi menuju TPS dekat domisili dan mencoblos calon walikota sesuai nurani. Bukan seperti yang dibicarakan oleh wakil kami di gedung parlemen selama ini. Mereka bilang demokrasi itu keterwakilan publik lewat DPRD, yang mana regulasi itu dibuat berlandas partai.

Kami berprasangka RUU pilkada ini didengungkan bukan karena faktor emosi akibat gugur berperang pasca “head to head” pada bulan juli tahun ini. Semoga prasangka ini menjadi esoteris.

Dan semoga saja pucuk pimpinan negeri ini dapat mengakomodasi mengenai isu RUU pilkada. Rakyat akan simpati bila regulasi dari DPR-RI dapat anda tentang sebagai kapasitas pucuk pimpinan negeri. Bukan sebagai pucuk pimpinan partai segitiga merah putih. Agar “akar rumput” tidak anarki yang rawan terjadi distansi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun