Hoax, kata yang bermakna kasar, namun bertubuh licin dan mudah menyebar. Selain karena sifatnya yang acap kali sensasional, faktor sosial-budaya juga turut menjadi pendorong beredarnya hoax, seperti minimnya budaya literasi, dan terutama kegemaran dalam berbagi cerita alias bergosip.
Berdasarkan data UNESCO, minat masyarakat Indonesia mengonsumsi literasi sangat rendah. Riset bertajuk World's Most Literate Nations Ranked pun menunjukkan hal serupa, bahwa Indonesia berada di urutan kedua terbawa dari 62 negara soal minat literasi. Itu artinya minat cerita kita lebih tinggi 60 kali lipat dari minat kita mengonsumsi literasi, dalam hal ini membaca buku. Padahal dari segi infrastruktur untuk mendukung minta baca, peringkat Indonesia di atas bangsa-bangsa Eropa.
Dalam acara Rapat Koordinasi Nasional Bidang Perpustakaan yang diselenggarakan pada lima bula lalu, 14-16 Maret 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta, Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando dalam sambutannya menyampaikan bahwa Indonesia saat ini memiliki 164.610 perpustakaan. Itu menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah infrastruktur perpustakaan terbanyak nomor dua di bawah India yang memiliki 323.605 perpustakaan dan di atas Rusia dengan memiliki 113,440 perpustakaan, dan Cina perada di urutan keempat dengan jumlah 105 831 perpustakaan.
Parahnya menurut UNESCO, dari sekian ratus juta penduduk Indonesia, hanya 0,001 persen masyarakat yang mempunyai minat baca yang baik. Artinya, bangsa ini benar-benar bangsa penggosip. Parahnya lagi, meski minat baca buku kita rendah tapi menurut data Wearesocial mengungkapkan bahwa orang Indonesia mampu berjam-jam menatap layar gadget, sehari kurang-lebih bisa 9 jam.
Dari sinilah, meningkatnya penggunaan smartphone sebagai medium bercengkerama, senda gurau, juga turut mempengaruhi beredarnya hoax. Melalui media sosial, yang dapat diakses melalui smartphone, siapa pun dapat berbagi cerita, bergosip, dan mengunggah foto atau video pengalaman-pengalaman yang seru dan menghibur. Dampaknya, hoax ikut serta di dalamnya.
Lembaga Digital Marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 hingga memasuki tahun 2019 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia bisa mencapai 100 juta orang. Sayangnya perkiraan itu meleset. Sampai saat ini, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) jumlah penggunanya sudah mencapai 117, 17 juta orang. Dan berdasarkan laporan tahunan Digital 2019 tentang perilaku online yang dihimpun Hootsuite dan We Are Social yang dikutip dari The Guardian, Indonesia menempati peringkat kelima soal pengguna internet terbanyak dan paling lama di dunia.
Smartphone menjadi salah satu media yang paling banyak di gunakan untuk mengakses internet, khususnya media sosial. Urusan-urusan ini orang Indonesia paling kuat bermedia sosial selama berjam-jam, bahkan termasuk paling cerewet di media sosial. Jakarta termasuk kota yang paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari, aktivitas kicauan dari aku Twitter yang berdomesili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris, Prancis.
Jadi bisa dibayangkan, mereka yang tak melek membaca, tapi suka menatap layar gadget berjam-jam dan cerewet di media sosial pula. Jadi jangan heran Indonesia menjadi konsumen empuk untuk informasi provokatif, hoax, dan fitnah. Begitu dapat informasi yang dianggap menarik, bisa menghebohkan jagat maya, langsung like dan share. Padahal informasinya tersebut belum tentu benar, dan bisa jadi hanya dimaksudnya untuk memprovokasi pengguna media sosial dan membela kohesi nasional. Jika demikian, rakyat terbelah, social distrust, apa dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi kita?
Cybercrime dan Dampaknya terhadap Ekonomi kita
Saat ini kita sedang memasuki arena pasar baru, pasar ruang virtual. Kejahatan cyber seperti penyebaran berita bohong, hacking, pishing, carding, dan segala macamnya, yang bersifat menumbuhkan ketidakpercayaan masyarakat dan merugikan keuangan individu maupun negara jelas-jelas sangat berbahaya dan menjadi ancaman perekonomian, khususnya ekonomi digital.
Di tahun depan, 2020, pemerintah menargetkan ekonomi digital Indonesia akan mencapai 130 milyard dolar AS atau setara RP 1.750 Triliun. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Jendral (Dirjen) Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informasi, Ahmad R. Ramli. "Masalahnya saat ini cybercrime saat luar biasa. Kita hanya bisa mencapai target ekonomi digital jika semua transaksi bisa dipastikan aman. Transaksi akan aman jika tidak ada anonimaus", katanya.