Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari banyaknya penduduk atau pekerja yang tinggal atau bekerja di sektor pertanian dan produk nasional yang berasal dari pertanian. Sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim karena mempengaruhi pola tanam, waktu tanam, produksi dan kualitas hasil.
Laporan pemerintah tentang Perubahan Iklim, yang dikeluarkan pada tahun 2001,  menyimpulkan bahwa suhu udara global  telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celcius (1 derajat Fahrenheit) sejak tahun 1861. Pemanasan ini sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia yang menambahkan gas rumah kaca ke atmosfer.Â
IPCC memperkirakan bahwa  peningkatan suhu rata-rata global akan meningkat sebesar 1,1 hingga C (2,0 hingga 11,5 F) antara tahun 1990 dan pada tahun 2100. Menurut Stocker, et .al; Kondisi ini akan menyebabkan iklim  terus menghangat untuk jangka waktu tertentu akibat emisi yang dikeluarkan sebelumnya, dan karbon dioksida tetap berada di atmosfer selama 100 tahun atau lebih sebelum alam dapat menyerapnya kembali.Â
Efek pemanasan global  akan  mempengaruhi pola curah hujan, penguapan, limpasan air, kelembaban tanah, dan variasi  iklim yang sangat bervariasi, yang semuanya dapat mengancam keberhasilan produksi pangan.
Perubahan iklim berdampak negatif terhadap produksi pertanian. Menurunnya produksi pertanian disebabkan oleh berkurangnya luas  panen akibat  dampak perubahan iklim. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peristiwa La Nia berdampak negatif terhadap produksi beras di Jawa. Variabel luas panen dan upah  berpengaruh positif terhadap produksi padi di Jawa.
Pada tahun 2000, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari semua emisi di seluruh dunia. Sektor pertanian melepaskan sejumlah besar emisi GRK ke atmosfer, terutama dalam bentuk CO2, CH4 dan N2O (Paustian et al. 2004). CO2 terutama dilepaskan melalui dekomposisi mikroba, pembakaran sisa tanaman dan  bahan organik tanah (Janzen 2004; Smith 2004).Â
Sumber emisi terbesar di sektor pertanian berasal dari penggunaan pupuk, peternakan, persawahan, kotoran hewan dan  pembakaran sisa-sisa pertanian (WRI 2005).
Emisi dari  produksi beras dan pembakaran biomassa terutama berasal dari negara berkembang, masing-masing menyumbang 97-92%, dengan emisi metana beras (CH4)  umumnya berasal dari Asia Selatan dan  Timur (82%). Metana terbentuk ketika bahan organik terurai dalam kondisi kekurangan oksigen, terutama selama fermentasi pencernaan ruminansia, kotoran ternak dan  sawah (Mosier 2001).Â
N2O dihasilkan dari transformasi mikroba di tanah dan kotoran hewan dan meningkat ketika ketersediaan nitrogen melebihi kebutuhan tanaman, terutama dalam kondisi lembab (Smith dan Conen 2004).
Petani yang sadar akan perubahan iklim dan dampaknya terhadap produksi tanaman pangan telah mampu mengembangkan strategi penghidupan dan adaptasinya secara berkelanjutan untuk mengatasi dampak ketidakpastian perubahan iklim  terhadap produksi tanaman pangan (Ayunwuy, et al., 2010). Soejono dkk. (2009)Â
menemukan bahwa faktor produksi yang esensial adalah pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja. Sedangkan faktor yang tidak berpengaruh nyata terhadap produksi adalah permukaan tanah dan stok benih.