Sebagaimana telah banyak diketahui, secara keseluruhan, pesan utama yang hendak diangkat oleh Sutan Takdir Alisjahbana dalam novelnya yang berjudul Layar Terkembang ialah tentang emansipasi wanita, feminisme, atau keperempuanan. Namun, dalam pembahasan kali ini, saya hendak mencoba menyoroti pesan kemajuan yang lebih umum dari salah satu karya paling monumental di dunia kesusastraan Indonesia ini.Â
Dengan singkat-singkat namun tersampaikan, novel Layar Terkembang juga berikan gambaran tentang bagaimana manusia menjalani kehidupannya yang juga singkat itu. Misal saja tentang betapa para orang tua hampir selalu bersusah-payah menjejali segala yang menurutnya baik pada anaknya hanya untuk menimpakan harapan sedemikian rupa dan tak jarang berakhir kecewa; tentang berlainannya ide atau prinsip yang dipegang antara orang tua-tua dengan kalangan muda; tentang orang tua yang baru fokus menjalankan perintah agama setelah terasa dekatlah ajalnya; tentang mereka yang melakukan sesuatu tanpa dasar, tanpa perlu mengerti, dan hanya menuruti sahaja apa-apa yang dikatakan oleh orang-orang yang mereka junjung seperti pemuka agama atau yang semisalnya; juga tentang pemuda yang merasa harus mengerti terlebih dahulu terhadap apa-apa yang hendak ia kerjakan.
Antara sedikitnya hal yang saya coba paparkan itu, keseluruhannya boleh dianggap sebagai gambaran pertentangan antara ide-ide atau hal-hal baru dengan yang lama. Dalam membaca novelnya, boleh saja kita suatu waktu cenderung pada yang lama, lalu di waktu yang lain cenderung pada yang baru. Namun, alih-alih menyibukkan diri dengan mempertentangkan ide baru dan yang lama, alangkah baiknya bila kita bisa mengutamakan cinta. Sebagaimana telah dipesankan pula oleh penulis dalam novelnya, supaya kita tidak lupa untuk menjalani peranan manusia sebagai bagian dari alam. Bahwa kita manusia ini hanyalah sebagian kecil saja dalam keluasan semesta. Maka sudah semestinya kita berupaya untuk menjalani peran kita dengan sebaik-baiknya, dengan penuh kesadaran, dan dengan kerendahan hati.
Pun soal tuntutan akan perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat sebagai cerita pokok dalam novel ini---dinyatakan pula---bukanlah semata-mata demi kepentingan kaum perempuan sendiri. Maka hendaklah kebaikan seutuhnya kita upaya serta harapkan untuk manusia seluruhnya.
Walaupun cerita dalam novel diakhiri dengan kematian tokoh Maria yang seolah sikapnya dipertentangkan dengan Tuti, maka itu hanya berarti suatu kondisi yang di luar kehendak manusia akan menyeleksi. Sebuah gambaran dari salah satu hukum alam yang sangat mendasar. Yang kuat bertahan, sedang yang lemah tumbang. Namun, itu tak berarti kita harus selalu saja memihak pada sikap atau prinsip yang diwakili tokoh Tuti dan meninggalkan sepenuhnya sikap atau prinsip yang diwakili tokoh Maria. Sudah semestinya kita harus selalu berupaya menjadi mampu untuk menyesuaikan diri terhadap setiap kondisi yang kita hadapi dalam kehidupan ini untuk sama-sama bertahan.
Karena menurut hemat saya, pemberian judul novel dengan frasa Layar Terkembang memiliki arti sikap keterbukaan dan kesiapan untuk mengarungi lautan kehidupan. Maka, sebagai manusia yang dianugerahi akal untuk bertimbang, hendaklah kita berupaya untuk menjadi sebijak dan seadil mungkin. Demi terlaksananya kemajuan peradaban dalam setiap tuntutan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H