Mohon tunggu...
Ardalena Romantika
Ardalena Romantika Mohon Tunggu... Penulis - Analyst

Vivamus moriendum est.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Bagaimana Perspektif Komnas Perempuan terhadap PP Kebiri Kimia?

6 Januari 2021   12:11 Diperbarui: 6 Januari 2021   19:40 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini, PP Kebiri Kimia ramai dibicarakan. Banyak pro dan kontra yang timbul. Salah satu pihak yang cenderung menentang adalah Komnas Perempuan. Berbeda dengan Komnas Perlindungan Anak yang mendukung penuh lahirnya PP no 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak, Komnas Perempuan justru memiliki perspektif sendiri dan berpendapat bahwa PP Kebiri Kimia ini bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah tindak kekerasan seksual terhadap anak. Komnas Perempuan tetap teguh pada sikap awal  ketika dihadapkan pada Perpu Nomor 1/2016 tentang Perubahan ke 2 atas UU no 23/2002 tentang Perlindungan Anak disahkan yang kemudian menjadi UU Nomor 17 tahun 2016.

Dalam perspektif Komnas Perempuan, tindakan mengebiri pelaku kejahatan seksual tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998 tentang konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Tindakan ini dipandang sangat kejam karena menyebabkan disfungsi organ manusia. Seseorang yang dikebiri akan kehilangan haknya untuk melakukan aktivitas reproduksi. Hal ini dipandang sebagai suatu penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan. Padahal Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan yang tertuang dalam Resolusi Majelis Umum No. 39/46  dan mengundangkannya dalam UU tersebut.

Selain itu, menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual terjadi bukan karena dorongan hasrat seksual semata. Banyak kasus kekerasan seksual disebabkan oleh ekspresi dan hasrat untuk menaklukan anak/perempuan sebagai pihak yang dipandang lebih lemah. Selain itu, juga disebabkan oleh teror dan dorongan psikis pelaku. Bukan rahasia lagi, banyak kalangan masyarakat Indonesia yang masih memiliki mindset bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan. Hal ini menyebabkan banyak oknum laki-laki yang memanfaatkan perasaan superior tersebut untuk melakukan tindak kejahatan terhadap perempuan hanya karena rasa cemburu maupun kemarahan sesaat. Dalam situasi ini, pemerkosaan terjadi bukan karena pelaku terdorong secara hasrat seksual untuk memerkosa, namun karena faktor psikisnya yang mendorong untuk berperilaku demikian.

Komnas Perempuan menilai bahwa pelaku kekerasan seksual mayoritas adalah orang-orang terdekat korban, sehingga dengan adanya hukuman kebiri kimia justru akan menutup peluang diadukannya pelaku kepada aparat penegak hukum. Apalagi jika pelaku adalah keluarga terdekat yang dianggap berperan besar dalam menghidupi keluarganya. Selain itu, pengebirian juga bisa dipandang sebagai "aib" yang akan menodai nama baik keluarga sehingga keluarga korban justru memilih bungkam.  Bahkan berdasarkan kasus di lapangan, tidak menutup kemungkinan pelaku kekerasan seksual juga merupakan anak-anak. Apakah anak-anak akan dikebiri ataukah justru tetap berlindung di bawah UU Perlindungan Anak?. Jika sudah begini, bukankah PP Kebiri Kimia justru kurang berpihak pada korban?.

Berdasarkan perspektif tersebut, Komnas Perempuan menilai bahwa PP Kebiri Kimia kurang berpihak pada korban. Terutama bagi para penyintas kekerasan seksual yang seharusnya lebih mendapat pemulihan dan dukungan psikososial. Hukuman kebiri kimia hanyalah seperti hukuman mati yang menitikberatkan sanksi pada pelaku dan kurang memperhatikan pemulihan korban. Aturan ini hanyalah seperti menumpas kejahatan di hilirnya saja, tanpa membasmi sampai ke hulu.

Menurut komnas Perempuan, ada banyak praktik perkosaan selain penetrasi penis ke vagina. Namun praktik-praktik tersebut tidak dikenal di Indonesia, sehingga dengan adanya PP ini dikhawatirkan akan terjadi penyempitan definisi kekerasan seksual. Disamping itu, banyaknya mindset yang berkembang justru menyalahkan korban kekerasan seksual, hal ini menyebabkan korban tak kunjung pulih dari traumanya. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya membuat peraturan yang lebih berpihak pada pemulihan korban, bukan hanya penghukuman pelaku semata, agar relevan dengan teori pemidanaan relatif dan restorative justice yang selama ini lantang digaung-gaungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun