Polemik data pangan seolah tak kunjung usai. Hal tersebut ditandai dengan pernyataan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Menteri Pertanian era Kabinet Kerja periode 2014 -- 2019, Andi Amran Sulaiman yang menuding bahwa ketidakakuratan data lahan sawah yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 92%.Â
Dirinya mengklaim bahwa lahan sawah yang diolah BPS Bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) melalui metode Kerangka Sampel Area (KSA) sangat tidak akurat.
Yang lebih mencengankan adalah klaim dari Mantan Mentan, "Hanya ada dua data, yakni data pertanian (Kementan) dan data mafia." Sebagaimana dikutip dan diberitakan oleh hampir semua media nasional saat acara serah terima jabatan dengan Mentan yang baru, Syahrul Yasin Limpo, Jumat (25/10).
Pernyataan yang jelas-jelas menyerang 5 lembaga sekaligus yang terlibat di dalamnya. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ATR, Badan Informasi Geospasial (BIG), serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) adalah lembaga-lembaga yang digandeng oleh BPS untuk penyempurnaan metode KSA.
Perlu diketahui bersama bahwa BPS tidak pernah melakukan pengukuran luas baku lahan. Sebelum tahun 2018 data luas baku lahan, luas tanam, dan luas panen selalu berpedoman pada pengumpulan dinas-dinas pertanian melalui petugasnya di lapangan. Di mana cara pengumpulannya sendiri telah dikritik habis-habisan oleh Forum Masyarakat Statistik (FMS) dan anggota DPR RI serta para akademisi yang dipakai sejak lama, bahkan oleh mantan Wapres, Jusuf Kalla kala itu.
Metode itu adalah hanya dari pandangan mata (eye estimate). Hasil yang disinyalir membuat begitu over estimate. Tidak tanggung-tanggung, kesalahan yang bersifat sistematis itu terjadi sejak tahun 1990-an, bahkan sejak tahun 1975.
Kemudian untuk menghitung produktivitas dilakukan ubinan untuk memperkirakan produksi padi per hektare guna penghitungan produksi total di Indonesia. Ubinan dilakukan oleh petugas pertanian dan petugas BPS dengan jumlah sampel 50% berbanding 50%.
Hasil sensus pertanian sejak tahunn 1993, 2003, dan 2013, serta Survei Pertanian Antarsensus (SUTAS 2018) ditemukan sebuah fakta kecenderungan penurunan jumlah lahan baku sawah.
Yang terbaru adalah menurut temuan Kementerian ATR/BPN bahwa ada penurunan luas baku lahan sawah menjadi hanya  7,1 juta hektare saja pada tahun 2018.
Hal yang sangat bertentangan dengan data Kementan yang mencatat kenaikan luas lahan baku sawah yang mencapai 7,79 juta hektare atau data yang lain pada 2016 mencapai 8,19 juta hektare.
Sepertinya data dari Kementan tidak melakukan pengurangan alih fungsi lahan yang jumlahnya tidak sebanding dengan pembukaan sawah baru. Kenyataan di lapangan bahwa penduduk semakin banyak, kebutuhan untuk tempat tinggal, belum lagi tempat-tempat industri, wisata, akomodasi, dan lainnya semakin besar.