Pada Mei 2019 negara tujuan utama ekspor Indonesia adalah Tiongkok menyusul Amerika Serikat dan Jepang. Kontribusi dari ketiga negara itu saja sudah mencapi 37,17 persen. Tetapi perlu diketahui bahwa impor dari negara Tiongkok masih jauh lenih besar dibanding nilai ekspornya. Jika dijumlahkan kontribusi ketiga negara (Tiongkok, Jepang, Thailand) terhadap nilai impor mencapai 46,24 persen.
Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari–Mei  2019  berasal  dari  Jawa  Barat  dengan  nilai  US$12,42 miliar  (18,14  persen),  diikuti  Jawa  Timur  US$7,81  miliar  (11,41 persen) dan Kalimantan Timur US$6,98  miliar (10,19 persen).
Kontribusi ekspor terkecil berasal dari Provinsi Gorontalo dengan nilai hanya US$1,6 juta (0,00 persen). Kontribusi terkecil selanjutnnya adalah Provinsi Maluku (0,02 persen) dan Provinsi NTT (0,02 persen). Adapun Provinsi Sulawesi Barat mencapai US$193,1 juta atau 0,28 persen.
Kalau Defisit Kenapa?
Mungkin pertanyaan akan muncul, kenapa sih terlalu dipermasalahkan kalau defisit, yang penting kan harga barang stabil? Benarkah pertanyaan tersebut atau kelihatan konyol?
Hal ini terjadi pada sektor-sektor riil yang tentunya bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sehingga efeknya tidak instan bisa diatasi. Sebagaimana diketahui bahwa secara riil kalau terjadi defisit aatau saat neraca transaksi berjalan defisit (CAD, current account deficit) berarti aliran uang ke luar negeri lebih banyak daripada aliran yang masuk ke dalam negeri. Jika rupiah sebagai mata uang kita kekurangan pasokan dalam negeri maka akan sangat sulit menahan tekanan mata uang negara lain.
Hal ini bisa kita lihat dari kecenderungan neraca perdagangan kita yang mulai defisit sejak tahun 2010-2011 sejak saat itulah rupiah cenderung melemah. Pada saat itu mungkin nilau tukar rupiah mencapai Rp9.000,- per US$ sedangkan sekarang mencapai Rp14.000,- hingga Rp15.000,- per US$. Bisa dikatakan pelemahannya sudah sangat akut dan penyebab utamanya bisa jadi karena defisit neraca perdagangan tersebut.
Tahu sendiri kan masalah apa yang kemudian muncul jika nilai tukaar terus melemah. Gonjang-ganjing dalam negeri, emak-emak berdemo, hingga dibawa-bawa ke masalah politik tagar #GantiPresiden.
Kontribusi kita sebagai masyarakat biasa untuk bisa turut andil adalah tentu saja dengan berusaha memproduksi barang-barang kualitas ekspor. Jika kita hanya konsumen kita bisa mengidentifikasi barang-barang mana saja yang masih harus diimpor. Kita bisa mengkonsumsi barang pengganti lain yang masih bisa diperoleh di dalam negeri. Atau kita bisa menghemat pemakaian barang impor tersebut seperlunya saja. Jangan berlebihan.
Sebagai contoh barang konsumsi yang masih terus diimpor dan bahkan mengalami peningkatan cukup besar adalah sayuran, US$95,7 juta atau meningkat 269,50 persen dari bulan sebelumnya. Barang-barang lainnya juga seperti plastik dan barang dari plastik masih cukup besar yakni US$713,3 juta, perhiasan/permata US$115,5 juta, dan kayu/barang dari kayu US$75,9 untuk Bulan Mei saja. Dan yang cukup besar juga adalah ampas/sisa industry makanan yang mencapai US$291,5 juta pada Bulan Mei saja.
Barang-barang lainnya masih banyak lagi yang sebenarnya masih ada barang pengganti di dalam negeri. Setiap intervensi dan kebijakan pemerintah tidak bisa berjalan dengan baik tanpa kesadaran dari kita bersama.