Beberapa saat yang lalu, kami melakukan Praktik Kerja Lapangan di beberapa Kabupaten di Bali, Sarbagita dan Klungkung. Fokus utama yang menjadi penelitian adalah mengenai permasalahan pertanian tanaman padi yang produksi diukur dengan metode baru.Â
Metode terbaru yang digunakan adalah Kerangka Sampel Area (KSA). Termasuk yang diteliti adalah karakteristik pertanian di bali.
Salah satu yang menonjol di pertanian padi di Bali dan tidak dimiliki oleh daerah lain adalah subak. Subak merupakan organisasi tradisional masyarakat yang khusus mengatur sistem pengairan sawah atau irigasi.Â
Subak telah terbukti menjadi penyokong utama peningkatan produksi pertanian padi di Bali. Subak juga telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia karena perannya yang begitu vital bagi pertanian dan pariwisata.
Menurut data BPS pada tahun 2018 melalui survei KSA, Provinsi Bali memiliki produktivitas padi tertinggi di antara daerah lain di Indonesia. Hampir mencapai 6 ton per hektare dalam bentuk gabah kering giling (GKG).Â
Hal itu dipercaya menurut beberapa penelitian akademik disebabkan salah satunya adalah sistem subak yang menjamin keberadaan air.
Di tengah produktivitas pertanian yang tinggi ternyata tidak dibarengi dengan jumlah produksi beras yang tinggi pula. Produksi padi di Bali cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 produksi padi Bali mencapai 882.092 ton menjadi 853.710 ton pada tahun 2015, bahkan dengan metode KSA pada tahun 2018 produksi padi diperkirakan hanya mencapai 650.245 ton saja.
Pemasalahan Poduksi Padi di Bali
Penyebab utama produksi padi di Bali mengalami penurunan adalah luas panen yang semakin menyempit. Ada pun luas panen pada tahun 2013 mencapai 149.000 hektare menjadi 137.385 hektare pada tahun 2015, bahkan dengan metode KSA pada tahun 2018 hanya mencapai 108.794 hektare saja.Â
Luas panen berkurang bisa karena alih fungsi lahan atau memang frekuensi penanaman dikurangi, misalnya dari 3 kali setahun menjadi 2 kali atau sekali saja dalam setahun.