Isu mengenai mempidana para pengajak untuk melakukan tindakan tidak memilih atau golput di pemilihan umum (pemilu) kembali mengemuka. Isu yang sebenarnya selalu berulang setiap menjelang pemilu. Yang terbaru adalah sehubungan dengan pernyatan Mengko Polhukam, Wiranto, sebagaimana dikutip oleh detik.com (27/3). "Kalau mengajak golput itu namanya mengacau, itu kan mengancam hak kewajiban orang lain, UU yang mengancam itu," kata Wiranto.
Pernyataan itu sontak mengundang reaksi yang begitu banyak dari para netizen. Ratusan hingga ribuan share di media sosial dan tentu saja mengundang berbagai perdebatan. Salah satu artikel yang ramai dikunjungi adalah detik.com, menghasilkan 86 persen reaksi "marah" serta sisanya menunjukkan reaksi "terkejut" oleh para pembacanya.
Menurut Wiranto bahwa orang yang mengajak bisa dijerat dengan UU tentang pemilu dan ITE. Apa benar demikian? Tentu saja tidak seluruhnya benar dan juga tidak semuanya salah. Menurut UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ada kriteria yang telah ditentukan orang atau kelompok mana yang bisa dijerat oleh UU tersebut. Pasal 284, 515, dan 523 UU Pemilu bagian disebutkan "Dalam hal terbukti pelaksana dan tim kampanye pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu untuk tidak menggunakan hak pilihnya."
Perlu digarisbawahi bahwa yang bisa dijerat adalah yang "menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya". Jadi, seandainya ada seseorang yang mengajak untuk tidak memilih alias golput tanpa iming-iming materi maka dia bisa dikatakan terbebas dari jeratan UU tersebut. Jika yang dimaksud Pak Menko Polhukam adalah karena ancaman atau dibatasi ruang geraknya untuk memilih itu tentu saja sesuai dengan kriteria yang bisa dijerat dengan UU ITE jika dilakukan di media sosial atau UU Pemilu.
Pada dasarnya memilih untuk tidak berpartisipasi dalm pemilu adalah merupakan hak asasi dari setiap warga negara sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 23 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Tidak boleh ada paksaan yang menyebabkan terabaikannya "pilihan" seseorang untuk tidak memilih.
Golput adalah Keyakinan
Banyak alasan yang melatarbelakangi seseorang memilih golput, seperti jenuh dengan janji-janji politikus, malas mengurus, sibuk, dan sebagainya. Ada pula alasan karena keyakinan dari agama yang dianutnya yang menganggap bahwa pemilu dengan sistem demokrasi ini adalah sesuatu yang bertentangan dengan syariat agama. Sebagaimana ini juga diyakini oleh sebagian masyarakat Indonesia yang beragama Islam sunni salafy bahwa berpartisipasi dalam demokrasi adalah bukan ajaran Islam. Demokrasi yang menciptakan kubu yang banyak yang mengundang perpecahan adalah sesuatu yang bertentangan dengan syariat.
Tentu saja itu merupakan hak yang juga dijamin oleh UU yaitu Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, ...." Begitu pun Pasal 28E ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Serta beberapa pasal lainnya lagi yang menjamin kebebasan dan kemerdekaan warga negara menentukan sikap dan keyakinannya.
Karena merupakan keyakinan sebagian masyarakat maka tentu tidak heran jika banyak yang mengkampanyekannya (baca: mendakwahkannya). Tentu bukan dengan iming-iming uang atau materi lainnya tetapi iming-iming terbebas dari maksiat dan janji pahala bagi yang bersabar menaatinya. Keyakinan ini coba disebarkan ke media-media sosial yang ada dengan harapan tentunya bisa mengajak orang sebanyak-banyaknya. Sekali lagi tentu tidak bisa dijerat oleh UU ITE karena mereka tidak menyebarkan berita yang melanggar UU ITE, apalagi UU tentang pemilu yang memang tidak ada Batasan yang dilanggar.
Saya yakin bahwa tujuan dari Bapak Menko Polhukam adalah dengan niat yang baik membangun bangsa yang lebih baik dengan berpartisipasinya seluruh anak bangsa di pemilu. Begitu pun mereka yang golput karena keyakinan, mereka juga punya niat baik bahwa kemajuan bangsa tidaklah dicapai dengan melanggar syariat tetapi harus diperjuangkan dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran dan tuntunan syariat yang benar sebagaimana yang mereka yakini.
Kita tentu berharap bersama bahwa kemajuan bangsa bisa tercapai dengan saling bersinergi bukan saling membenci, saling bahu membahu bukan saling menjatuhkan. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menyatukan seluruh anak bangsa. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H