Mohon tunggu...
Dwi Ardian
Dwi Ardian Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi

Pengumpul data belajar menulis. Email: dwiardian48@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bang Sandi Mungkin Lupa

7 September 2018   05:16 Diperbarui: 7 September 2018   14:52 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa saat yang lalu saya pernah menulis tentang kebanggaan Bang Sandiaga Salahuddin Uno saat memaparkan data kemiskinan yang menurun di Jakarta. Saat itu beliau masih menjabat sebagai Wakil Gubernur Jakarta (16/7). Data yang dipaparkan tentu saja data yang baru dirilis oleh BPS.

Sikap itu sangat bertentangan dengan pernyataannya baru-baru ini yang mengatakan bahwa data kemiskinan BPS dikontrol oleh pemerintah. "Kalau saya melihat, tentunya wajar pemerintah menyampaikan pencapaian-pencapaiannya. Tentu dengan data yang mereka kontrol," kata Sandi sebagaimana dikutip kompas, Kamis (30/8/2018).

Tentu kita bertanya-tanya apa mungkin Bang Sandi begitu cepat lupa. Iya, dalam waktu 1 bulan lebih saja dia sudah lupa. Tentu saja tulisan ringan dan receh ini tidak bermaksud menyudutkan beliau sebagai mantan pejabat negara. Bukan pula bermaksud merendahkan beliau yang berpendidikan tinggi, di luar negeri pula sekelas Paman Sam.

Saya hanya ingin mencoba menjelaskan sebagai pelaku data di BPS bahwa sampai saat ini kami masih punya moral dan tanggung jawab untuk tidak disetir oleh orang lain, termasuk pemerintah. Saya sadar dan yakin bahwa beliau memiliki niat yang baik untuk bangsa ini. Tetapi ternyata niat baik saja itu tidak cukup.

Pernyataan bahwa data BPS dikontrol oleh pemerintah telah melukai sekitar 15.658 pegawai BPS dari pelosok daerah hingga pusat. Mereka tentu merasa sakit ketika data yang dikumpulkan dengan susah payah, kurang peduli dengan keselamatan, mengabaikan waktu libur, kemudian dikatakan demikian.

Data Kemiskinan

Pertama yang disinggung adalah mengenai data kemiskinan. Menurut beliau bahwa tidak seharusnya standar kemiskinan seperti yang dipedomani oleh BPS. Standar yang dipedomani oleh BPS dianggap keliru karena terlalu rendah sehingga menurunkan kemiskinan mencapai satu digit yakni 9,82 persen atau 25,95 juta orang per Maret 2018.

Data kemiskinan memiliki konsep dan definisi yang jelas. Konsep ini telah diakui dunia dan diadopsi oleh BPS sejak lama, bahkan sejak orde baru. Angka kemiskinan memang memiliki tren kecenderungan untuk turun dari tahun ke tahun, meski pernah juga beberapa periode tertentu mengalami kenaikan.

Penurunan kemiskinan saat ini sebenarnya masih tidak sebanding dengan dana bantuan sosial dan bantuan non-tunai dari pemerintah. Dana bantuan sosial mencapai Rp77,3 triliun yang diharapkan bersentuhan langsung dengan masyarakat di bawah garis kemiskinan. Itu belum termasuk dana desa yang mencapai Rp60 triliun. Sedangkan penurunan kemiskinan hanya 0,82 persen saja selama setahun.

Bukan itu poinnya, tetapi yang ingin saya pertegas adalah BPS secara institusi tidak pernah terbukti melakukan tindakan yang menyalahi aturan. Silakan yang melakukan tuduhan untuk memberikan bukti.

BPS dalam mengumpulkan data kemiskinan dilakukan melalui survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan dua kali setahun yakni Maret dan September.

BPS selalu mengacu kepada konsep dan definisi yang disepakati secara internasional sehingga mudah diukur dan bisa dibandingkan secara berkala. Lembaga internasional seperti IMF dan PBB adalah salah dua lembaga yang mengawasi itu, sedangkan di dalam negeri ada Forum Masyarakat Statistik.

Semua lembaga itu tidak mungkin secara sepakat dan bisa dikontrol oleh kelompok tertentu, termasuk pemerintah.

Data Pengangguran

Lalu mengenai tingkat pengangguran yang menurun, Sandiaga juga menuduh bahwa hitung-hitungan BPS masih mentah. BPS mencatat terjadi penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), dari Februari 2017 sebesar 5,33 persen jadi 5,13 persen pada Februari 2018.

Namun Sandiaga menilai, BPS hanya mengukur tingkat pengangguran terbuka tanpa melihat kualitas pekerjaannya. Menurut Sandiaga, banyak anak muda lulusan diploma dan sarjana yang terpaksa bekerja tidak sesuai dengan bidang dan kemampuannya. "Job-nya ada tetapi tak berkualitas," kata dia.

Kalau dikatakan demikian, memang benar bahwa BPS melalui survei angkatan kerja nasional (SAKERNAS) hanya memotret kondisi ketenagakerjaan secara umum. Sakernas kemudian tidak menganggap seseorang tidak bekerja atau menganggur hanya karena tidak sesuai spesifikasi pendidikannya.

Sakernas tidak bertujuan untuk mengarahkan sarjana pertanian yang bekerja di perbankan agar berhenti dan mencari pekerjaan yang sesuai. Sakernas hanya memberikan angka yang bekerja, yang menganggur serta jenis-jenis pekerjaannya. Sehingga BPS tidak bisa disalahkan sama sekali mengenai ini. Silakan sampaikan kepada yang memiliki wewenang untuk mengatur itu atau silakan buat kebijakan yang mendukung ide tersebut kalau punya wewenang.

Dalam mengeluarkan angka-angka ketenagakerjaan BPS selalu mengacu kepada International Labour Organization (ILO) yang tentu telah diadopsi berpuluh tahun. Hasil Sakernas pun tidak pernah seheboh saat menjelang pemilu seperti saat ini.

Sekali lagi, kita sangat butuh kepada orang-orang seperti Bang Sandi yang mempunyai niat baik untuk membangun bangsa. Tetapi niat baik saja tidak cukup, perlu pemahaman yang menyeluruh terhadap suatu permasalahan sebelum berkomentar.

Blunder (Lagi)

Pada kesempatan yang sama Bang Sandi kembali membanggakan pencapaiannya di DKI Jakarta.

"Kita sudah coba di Jakarta kita punya kluster pangan kita amankan pasokan, rantai distribusi sederhana, terbuka berkeadilan, alhamdulilah inflasi di Jakarta rendah saat lebaran kemarin," kata dia. DKI Jakarta mengalami inflasi 0,48 persen pada Juni 2018 lalu. Angka tersebut lebih rendah daripada inflasi nasional sebesar 0,59 persen pada Mei 2018.

Sekali lagi, mungkin Bang Sandi lupa bahwa data inflasi juga diproduksi oleh BPS. Jadi siapa yang mengontrol data inflasi Jakarta nih (?!)

Hal ini menjadi pelajaran besar kepada kita semua bahwa seseorang dengan kualifikasi pendidikan tinggi dan jurusan yang sesuai pula bisa melakukan blunder (Bang Sandi S1 dan S2 di Amerika dengan predikat summa cumlaude dengan gelar BBA, MBA). Apalagi, kita atau kalian yang hanya bermodal terima berita dari medsos doang.

Sebaiknya tahan diri berkomentar jika belum tahu secara menyeluruh, nanti blunder lho. Kan kasihan..(!)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun