Mohon tunggu...
Dwi Ardian
Dwi Ardian Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi

Pengumpul data belajar menulis. Email: dwiardian48@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

'Desa Membangun' Mengatasi Kemiskinan?

23 Juli 2018   13:39 Diperbarui: 23 Juli 2018   17:43 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi saat melakukan pendataan rumah tangga miskin di salah satu desa di Kabupaten Mamasa, Sulbar.

Paradigma desa membangun yang coba diimplementasikan pemerintah melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa. Pemerintah berharap dengan paradigma yang diubah dari membangun desa menjadi desa membangun akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Desa membangun diharapkan akan menurunkan kemiskinan secara signifikan. Secara teori memang seharusnya dengan dana desa dan program sosial yang semakin banyak maka akan sangat bisa mengeluarkan masyarakat dari garis kemiskinan. Bagaimana dengan kenyataan di masyarakat? Mari kita simak ulasan singkat berikut.

Sejumlah masalah baru muncul sejak dana desa dinaikkan cukup signifikan Rp20,67 triliun pada 2015 menjadi Rp60 triliun pada 2017 atau mencapai Rp1 miliar per desa. 

Sebut saja beberapa penyelewengan dana desa oleh aparat desa hingga OTT korupsi dana desa di Pamekasan Madura oleh pemerintah daerah. Itu hanya fenomena gunung es yang sempat kelihatan, masih banyak lagi yang jauh dari sorotan media massa. Masalah lain ialah politisasi pembentukan desa baru setiap menjelang pilkada meningkat drastis tanpa proses verifikasi yang ketat.

Politisasi Pembentukan Desa Baru

Menurut UU Desa pasal 8 ayat (3), untuk membentuk sebuah desa baru harus memenuhi syarat minimum jumlah penduduk yang ketentuannya berbeda-beda tergantung di mana daerah tersebut. Wilayah Jawa harus mencapai 6.000 jiwa atau 1.200 kepala keluarga (KK), wilayah Bali 5.000 jiwa atau 1.000 KK, Sumatera 4.000 jiwa atau 800 KK, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Maluku 2.000 hingga 3.000 jiwa, sedangkan Papua minimal 500 jiwa. 

Selain itu, desa induk harus minimal sudah terbentuk selama 5 tahun. Dari UU tersebut sangat banyak desa baru di Indonesia bagian tengah hingga timur yang sebenarnya sangat tidak layak untuk menjadi desa baru tetapi terkesan dipermudah oleh para oknum pejabat yang ingin terpilih kembali di pemilihan selanjutnya. Bahkan ada sebuah desa baru di salah satu kabupaten di Sulawesi yang jumlah KK-nya hanya 86 dan jumlah penduduk 373  jiwa, itu pun tanpa verifikasi lebih lanjut dari Pemda karena menurut pengamatan penulis sendiri di desa tersebut hanya sekitar 20-an rumah saja.

Ada tren peningkatan jumlah desa di Indonesia dari 2014 ke 2015, menurut data Potensi Desa (Podes)BPS yakni 82.190 desa pada 2014 menjadi 83.184 pada 2015 menurut Permendagri No. 56 tahun 2015 di mana sekitar 10 persennya adalah kelurahan. BPS sendiri kembali melakukan pendataan Podes pada Bulan Mei tahun 2018 ini yang akan menggambarkan kondisi terkini desa di Indonesia. 

Kalau kita memperhatikan ada beberapa daerah di Indonesia yang cenderung jumlah desanya bertambah drastis menjelang pilkada. Seharusnya menjadi kabar baik bagi warga di desa yang akan menerima hasil dari "merdekanya" mereka dari desa induk. 

Kenyataannya tidak demikian, kalau kita melihat aangka kemiskinan yang masih berpusat di perdesaan. Yang berarti bahwa dana desa yang besar beserta program sosial tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kemiskinan di Desa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun