Mohon tunggu...
Arci Rahmanta
Arci Rahmanta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

nope -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melayang Tapak Demi setapak Kaki, Akan Kukejar Ibu

23 Desember 2014   15:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:38 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="http://rebeccamcfarland.blogspot.com/"][/caption] Dia berpeluh kesah setiap harinya. Senandung kicauan burung membawa kepedihan, awan putih tebal menerpa barisan burung kutilang berekreasi ke utara pada pagi hari, entah kemana. Deru angin melawan biasnya cahaya mentari kala hempasannya tertabrak dengan dinginnya hati. Hatinya kala itu sedang tak enak dipandang. Keresahan dan gundah sekonyong-konyong  menyergap, apa salah? tidak ada yang tahu. Ketika riak genangan air di depan jalan selalu tersapu oleh roda-roda yang berjalan mengular. Terlihat pandangan muka dingin nan nanar di atas genangan itu. Sebenarnya ia ingin berkeluh. Tetesan air keluar perlahan dari kran, jatuh ke dalam wadah penampungan  hingga terdengarlah simponi murni dari peraduan. Lalu sepi. Terdengarlah klakson truk angkut minimarket putih bersih membumi, sepertinya bukan hanya klakson truk angkut tersebut, tetapi decitan pedal rem yang ditekan sedikit mendadak juga terdeteksi oleh telinga. Lalu Senyap. Nyanyian Abang Tukang Sayur disambut prembule apik dari ibu-ibu yang tak mau kalah. Biasalah tradisi tertua yang pernah ada. Percakapan tak tergubris anak-anaknya yang sedang bermain petak umpet. Apa peduliku untuk tahu dan mengerti. Sebelum siang, sepiring tempe dan tahu telah siap bersandingan dengan segelas air. Tak lupa ada kecap dan krupuk sebagai pelengkapnya. sepertinya mereka menari-nari atas dasar keprihatinan. saat kutanya sendok ada dimana, si garbu tersipu. sepertinya aku telah tahu. seperti pagi-pagi sebelumnya, aku santap habis semuanya. Terkadang malah tidak kusentuh sama sekali. Jika tidak terburu-buru, akan ada kicauan rutin yang memekakan telinga. diselingi batuk-batuk kecil. kusesegerakan tali sepatu baru yang dua tahun lalu kubeli ini agar dapat berpaut dengan kaki. Setelah itu lepaslah beban rumah kecil, tak bertegel, dan reot itu. Aku tahu, ada yang sedang bangga sekaligus terselimuti rasa takut, takut akan kesendiriannya. Sebelum mentari menyudahi live show-nya. aku tak mau beranjak dari tongkrongan tempatku berpadu jalinan persahabatan antar rekan sejawat. aku bebas, aku liar, dan yang penting aku bahagia dengan bermodal nekat dan pas-pasan. Sepengetahuanku, ada perasaan aku telah berdusta dan biadab. Bagaimana tidak, aku telah mencuri sebatang rokok promild yang baru kemarin aku kenal. Tapi, sebenarnya bukan itu, aku salah duga, ada perasaan lain yang maklum. Aku minta maaf Ibu, Semoga kau segera sembuh atas penyakitmu. Aku terus mendoakanmu, biarpun aku tak tahu Tuhan dengan rela mau mendengarkan keluhku. Aku tahu, Engkau selalu berpeluh dingin di hari yang panas untuk anak-anakmu. Aku belum bisa membalasmu membayarkan kesembuhanmu pada Tuhan, seperti yang telah aku janjikan selama ini. Aku belum berpeluh sepertimu Bu. Sekali lagi maafkan aku anakmu, majikan kecilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun