Mohon tunggu...
Arci Rahmanta
Arci Rahmanta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

nope -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Misterius di Pos Polisi itu

7 Januari 2015   09:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:39 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Orang itu sabar dalam menanti kegelisahan dan kegundahan di persimpangan jalan. Selalu mengantisipasi kejadian yang terduga. Memang siapa dia? Ada yang bilang dia itu adalah intel yang sedang menyamar, namun ada juga yang berkata dia adalah orang yang sedang gila karena ditinggal pacarnya. Ada pula yang bilang ia termasuk turunan Partai komunis yang lagi tak mau diamuk warga, makanya dia pura-pura gila.

Orang itu sepertinya selalu gelisah dalam menggapai kegundahan dan kesabaran dalam hidupnya. Selalu bergumam tanpa mungkin ia sadari. Memang siapa dia? Orang yang sering bertemu dan menyapanya bilang bahwa dia adalah orangtua yang selalu menunggu anaknya yang hilang dalam kejadian Semanggi 98. Bahkan ada yang bilang ia adalah seseorang yang selalu menanti keadilan penguasa yang lagi bertindak senonoh dan tak peduli, ia adalah aktivis sejati .

Orang itu memandang langit dalam kejauhan keputusasaan dan ketragisan zaman. Bersyair sepenuh hati dan menari kegirangan dekat warung tegalnya Bulek Kadarsih. Memang siapa dia? Bulek Kadarsih sering bilang jangan ganggu saat dia lagi bersyair ria, karena bisa-bisa akan diparangnya. Ada Takmir masjid yang bilang bahwa orang itu harus diberi pencerahan dalam keputusasaannya. Bahkan ada Pak Polisi yang bilang bahwa dia adalah anggota perampok yang sedang memburu anak-anak kecil sepertiku, memang saat itu banyak perampokan yang tega membunuh korbannya, canda pak Polisi ini tak membuatku takut, malah tertantang untuk mengetahuinya.

Orang itu berpaling saat kupandangi dengan cemas dan seksama. Ada hal lain dalam dirinya yang membuatku tertarik padanya.  Tapi Siapa dia? Telah berhari-hari aku bergumam dalam hati untuk mengetahui siapa dia, darimana asal-usulnya, kenapa dia ada di persimpangan jalan, bagaimana prinsip hidupnya, dan apa yang diharapkan. Tak lama, ada yang berbisik padaku, tak lain adalah Ibuku sendiri, Ibuku bilang bahwa jangan mengganggu orang yang lagi gila dan dalam perjalanan, ia adalah musafir.

Keyakinanku meninggi, percaya diriku memuncak, libido keingintahuanku bergelora. Sore ini aku harus berkenalan dengannya. Toh hanya berkenalan kok, ndak lebih. Walaupun hujan, aku lari selari-larinya ingin kepertapaan si misterius itu, seperti kesetanan. Aku berlari menjejakkan langkah di genangan-genangan air di sebelah bangunan yang baru sebulan dibangun. Tak kusadari dalam genangan air itu ada paku berkarat berwarna coklat kemerah-merahan menancap tepat menembus sandal yang kupakai dan menembus daging telapak kaki kananku. Seketika , darah mengalir deras dari kakiku, kujatuhkan badanku kekanan jalan, aku tergeletak seperti kuda tak berdaya. Aku tak kuat menahan sakitnya tancapan paku berkarat ini, mungkin bakteri-bakteri tetanus telah menyerang kakiku, aku tak berdaya di markah jalan itu. pening seketika merasuk, tak sadarkan diri aku di jalan itu.

Esoknya, tak tahu kenapa aku sudah rumah sakit. Ibuku menangis di sampingku, seperti menangis senang dan menyesal kulihatnya. Apa yang telah terjadi? Aku tak tahu, tidak seperti biasanya aku melihat Ibuku menangis seperti ini. Apa karena aku yang sakit tetanus ini, ah bukan kurasa. Dua tahun lalu ketika aku sakit Tipus, ibuku tidak menangis seperti ini. Apa karena kakiku harus diamputasi karena penyakit tetanus ini, ah tidak, kulihat kakiku masih utuh dan normal kok. Hanya perban putih membungkus kaki kananku. Oh bagaimana si misterius itu? aku belum mengenalnya. Aku menyesal. Terasa mataku berat sebelah, ternyata obat penghambat rasa sakit ini juga berefek sebagai obat bius juga. Aku tertidur lagi.

Tiga minggu kemudian setelah sembuh dari tetanus, aku ingin melihat orang misterius itu. Sesampainya disana, aku tak melihatnya. Kutanya pak polisi yang sering berjaga di Pos Polisi itu, kata Pak polisi orang misterius ini telah mempunyai pekerjaan tetap sebagai penggali kubur. Bulek Kadarsih kutanyai berbilang bahwa orang misterius ini telah menjadi  imam di masjidmu kelak. Aku malah tak mengerti, di masjidku kelak? Aku tak punya masjid. Lalu kutanyai Ibuku, apakah dia menjawab atau tidak.

"Ibu tahu kemana orang misterius yang selalu ada di samping pos polisi, sambil termenung itu?" tanyaku.

Ibuku tak menjawabnya, Ia berpaling muka dari tatapanku.

"Ibuu...?" pintaku sekali lagi.

Ibu masih tidak menjawabku, terdengar suara isak tangis dari dirinya. Kucari posisi yang pas untuk bertatapan dengan Ibu, benar ternyata Ibuku menangis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun