Di Indonesia, lebaran selalu identik dengan mudik. Identik dengan jalanan yang macet, baik itu karena kendaraan roda empat ataupyn roda dua. Identik dengan berdesak-desakkan di Kapal PELNI, yang mana penumpang berlomba-lomba untuk mendapatkan tempat tidur yang layak di Kapal. Identik pula dengan berlomba-lomba untuk mendapatkan tiket kereta atau pun pesawat jauh-jauh hari sebelum hari H yang telah direncanakan untuk mudik.
Jika kita perhatikan, fenomena ini tidak berubah, malah semakin lama semakin parah. Baik itu karena jumlah kendaraan yang meningkat drastis dan fantastis setiap tahunnya, ataupun jumlah pemudik yang menggunakan kereta yang semakin membludak. Lebih-lebih lagi penumpang Kapal PELNI yang sistemnya siapa cepat itu yang dapat, khususnya kelas Ekonomi (Sekarang berganti nama menjadi Kelas Wisata).
Pasti banyak yang bertanya, mengapa bisa seperti itu? Untuk naik Kapal PELNI, khususnya Kelas Ekonomi (Wisata) nomor sheat tempat tidur yang tertera pada tiket tidak berlaku. Jadi nomor sheat yang ada pada tiket hanya sebuah lambang saja. Lantas, bagaimana caranya untuk mendapatkan tempat tidur? Caranya, penumpang harus berusaha secepatnya untuk bisa mencapai dek kapal dan segera mencari tempat tidur yang kosong dan betul-betul tempat tidur tersebut tidak ada yang miliki.
Bagaimana kalau tidak dapat tempat tidur? Nah... ini yang menjadi resiko, terpaksa harus tidur dilorong-lorong dengan bermodal tikar dari bungkus semen yang sudah dibersihkan dan dibeli sebelum naik kapal atau sewaktu didalam kapal. Banyak pedagang dadakan yang menjual tikar demikian.
Hal-hal seperti ini sebenarnya masih wajar. Mengapa? Karena di Indonesia momen lebaran adalah saat yang tepat untuk menunjukkan kesejahteraan dan kemapanan dalam segi sosial. Yang mana setiap orang atau individu ingin merasakan kenyamanan dan kepuasan ketika hendak melakukan perjalanan mudik.
Namun, ada satu hal yang dilupakan oleh para pemudik, yaitu makna sesungguhnya dari mudik menjelang lebaran Idul Fitri. Seharusnya para pemudik mengerti dan paham akan makna Lebaran Idul Fitri. Yang saya maksudkan adalah makna dari Idul Fitri. Kata Idul Fitri terdiri atas ‘Idul yang artinya Kembali’ dan ‘Fitri yang artinya Suci’. Jika disimpulkan adalah Kembali kepada kesucian.
Sedangkan dalam arti positifnya adalah menghabiskan seluruh dosa yang selama ini kita perbuat dengan beramal sebaik-baiknya dibulan Ramadhan, yang mana salah satunya dengan melaksanakan ibadah puasa. Sehingga diharapkan saat Ramadhan usai, segala dosa-dosa kita terhapuskan dan kita suci kembali bagaikan bayi yang baru lahir. Dan diakhiri dengan saling silaturrahim dan saling mengungkapkan permohonan maaf.
Seiring dengan berkembangnya model Lebaran Idul Fitri, akhirnya tidak dapat terhindarkan dari akses negatif. Lebaran seakan menjadi sebuah budaya baru, dimana dijadikan sebagai pelampiasan keduniawian. Lebaran seakan menjadi sebauh ajang balas dendam, hura-huraan, pamer-pameran dan habis-habisan. Seolah-olah tidak ada lagi hari esok dan demi memenuhi hasrat diri karena telah bebas dari ‘kekangan kebebasan’ selama sebulan penuh. Lebaran akhir-akhir ini berkembang menjadi sarana untuk menunjukkan diri, bukan lagi sekedar untuk sarana bersilaturrahim.
Tak ada yang salah memang. Toh itu dilakukan demi menyenangkan semuanya. Terutama keluarga yang dituju di desa. Namun secara tak sadar, ada nilai-nilai ibadah Ramadhan yang terkikis bahkan mulai hilang. Tak sadar ada rasa riya’ (sombong), tak sadar untuk bermewah ria padahal Ramadhan mendidik kita untuk menjadi pribadi yang santun dan sederhana.
Idul Fitri adalah hari dimana seharusnya diri kita menjadi fitri (kembali). Kembali menjadi manusia yang berharap bisa memanusiakan saudara yang lain. Mampu kembali membangun semangat beribadah di hari-hari berikutnya seperti saat di Bulan Ramadhan. Bukan malah sebaliknya.
Lebaran Idul Fitri bukanlah menjadi ajang balas dendam, pamer-pameran, habis-habisan dan hura-hura. Setelah merasa terkekang hawa nafsu selama puasa Ramadhan. Mari, jadikan Lebaran Idul Fitri menjadi titik awal, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dibandingkan dengan tahun-tahun yang telah lewat. Sebab tanpa usaha dan ikhtiar keras, tak mungkin kita dapat mewujudkannya.
Makassar, 02 Agustus 2014
Arif Rahman
Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H