Indonesia Tempo Doloe
Kata orang-orang diluar sana (wisatawan), Indonesia itu unik. Dimana hal itu jelas terlihat dari beragamnya budaya, agama, suku, bahasa, dan banyaknya pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tak hanya itu saja, penduduk Indonesia juga dikenal akan keramahannya dan juga sopan santunnya.
Sayang, di era modern ini, keramahan dan sopan santun itu mulai terkikis perlahan-lahan tanpa di sadari.
Penyebabnya pun banyak sekali, seperti kurangnya didikan dan perhatian dari sebagian para orangtua, hadirnya kemajuan teknologi yang tak bisa di bendung dan membuat kita jadi kaget, dikit-dikit melanggar HAM, dan tak kalah menarik adalah urusan didik mendidik dianggap hanyalah tugas seorang tenaga pengajar alias guru.
Setuju atau tidak, itulah fakta yang terlihat saat ini dan sebagian dari kita tak bisa memungkiri hal itu, karena memang seperti itulah yang terjadi. Salah satu contohnya baru saja terjadi beberapa hari yang lalu, tepat menjelang hari terakhir ujian nasional. Pasti semua tahulah siapa yang saya maksud, karena saya yakin semua sudah melihatnya di televisi atau media sosial masing-masing.
Sikap yang ditunjukkan beberapa hari lalu itu sangat berbeda jauh sekali dengan masa saya kecil dahulu di daerah pedalaman sana alias kampung halaman (Tomia, Wakatobi). Itu menurut pengamatan saya, entah bagaimana dengan pandangan orang lain. Atau yang lebih ekstrim lagi sangat berbeda jauh dengan zaman tempo dulu. Contohnya seperti yang terjadi pada foto di atas.
Apa yang kamu saksikan pada foto di atas adalah pemandangan yang lazim terjadi tempo dulu. Kala anak-anak murid mau memasuki sekolah tempat menimba ilmu. Mereka melewati pintu depan yang sudah ditunggu oleh tuan guru. Semua berjalan menunduk sebagai bentuk hormat dan menghargai yang lebih tua. Berjalan membungkuk bukan hanya sekedar tata cara penghormatan. Tapi juga sebuah simbol mau merendahkan diri kepada manusia lain yang dinilai lebih berat "isinya". Bisa ilmunya, bisa usianya, atau bisa juga karena maqom (kedudukan) yang dimilikinya.
Namun sekarang, hal seperti itu nampaknya sudah mulai hilang dan mungkin saja secara perlahan-lahan hanya tinggal cerita, yang tentunya untuk dikenang serta didengar oleh generasi penerus. Itu pun jika para generasi penerus itu mau mendengarkan.
Saat ini, pendekatan guru sebagai teman terkadang berakibat pada kebablasan. Tak ada lagi sikap sungkan. Atau dalam adat Jawa tak ada lagi ewuh pekewuh (hormat) kepada sang guru. Mengapa? Ya itu tadi, karena sang guru hanya dianggap sebagai teman dan sekedar fasilitator pendidikan saja.
Akibatnya, ketika sang murid melakukan kesalahan dan sang guru menegur bahkan mungkin berujung pada pemberian hukuman, maka sang murid pun nggak terima. Contoh, ditempeleng. Percaya atau tidak pasti ada saja murid yang melapor komnas HAM. Katanya sih melanggar HAM, padahal kadang kelakuan si murid sudah sangat meresahkan, tak bisa di tolerir, dan sebagainya. Namun ketika sang murid gagal, maka satu-satunya orang yang disalahkan dan jadi sasaran amukan kedua orangtuanya adalah sang guru.
Saya masih ingat, bagaimana dulu, saya dan kawan-kawan sebaya berlomba-lomba dan berkerumun di depan ruang kelas untuk menjemput guru. Kami ramai-ramai berebutan membawakan tasnya. Yang tak kebagian tetap bisa berebut untuk urusan salim mencium tangan. Bahkan diperintah guru mengambil kapur, penghapus, dan kadang penggaris adalah sebuah kebanggaan bagi kami yang sekolah di daerah terpencil. Mengunjunginya saat sakit adalah aturan tak tertulis yang membuat para murid bergegas dan berinisiatif patungan lalu membuat rencana untuk mewujudkan.