Menjelang Valentine's Day, semua orang pasti tau produk apa yang terpajang secara spesial di supermarket, toko makanan, dan restoran. Iya...tentu saja COKELAT. Siapa sih yang tidak suka cokelat. Cokelat tidak mengenal usia, latar belakang, maupun status sosial. Cokelat juga hadir dalam berbagai bentuk, baik yang berupa cokelat batang, bubuk, minuman, hingga menjadi dekorasi untuk mempercantik berbagai jenis makanan lainnya. Cokelatpun dihubungkan sebagai lambang kasih sayang.
Di balik kenikmatan dan kehebatan cokelat, ternyata masih banyak hal yang bisa kita pelajari tentang cokelat. Tidak perlu jauh-jauh ke Eropa untuk belajar cokelat, di Bantul, Yogyakarta, sudah ada Museum Chocolate Monggo. Museum yang didirikan untuk melengkapi pengetahuan para pecinta cokelat tentang seluk beluk cokelat ini berlokasi di Jl. Tugu Gentong RT.03 Sribitan, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Lokasi yang jauh dari kepadatan dan kemacetan lalu lintas pusat kota Yogyakarta menjadikan museum ini sebuah alternatif wisata edukasi.
Berawal dari sebuah kekecewaan Thierry Detournay, seorang Belgia yang sedang jalan-jalan di Yogyakarta, karena tidak menemukan cokelat yang berkualitas di Indonesia. Pendiri Cokelat Monggo ini mulai membuat cokelat sendiri dan menjualnya dengan vespa pinknya. Hingga selanjutnya menjadi perjalanan besar Cokelat Monggo.
Sebagian besar biji cokelat yang dihasilkan diekspor ke luar negeri. Industri cokelat di Indonesia tidaklah berkembang. Harga jual biji kakao di pasaranpun rendah karena biji kakao yang dijual belum difermentasi. Kurangnya pengetahuan petani Indonesia menjadi kendala utama. Di sisi lain, pabrik cokelat membutuhkan cokelat yang sudah difermentasi, dan itu merupakan tugas petani cokelat. Oleh karena itu, Cokelat Monggo juga mengedukasi para petani cokelat untuk memfermentasi biji cokelat sebelum dijual.
Di dalam Museum juga dijelaskan sejarah manusia mulai mengkonsumsi cokelat. Ditemani pemandu yang sangat cakap bercerita, Tri Widiantoro, cerita tentang cokelat berawal dari Meksiko, khususnya Suku Olmec (1900 -- 300 SM) yang mengunakan cokelat sebagai minuman. Cokelat terus menjadi minuman primadona di wilayah tersebut di masa selanjutnya oleh Suku Maya (100 -- 900 M) yang percaya bahwa cokelat adalah makanan dewa, tanaman kakao adalah jembatan antara bumi dengan dunia dewa.
Nama ilmiah pohon kakao adalah Theobroma Cocoa yang berarti 'makanan dewa'. Kakao masih menjadi barang berharga hingga Suku Aztec (1200 -- 1500 M), sehingga biji cokelat juga menjadi salah satu alat pembayaran pada masa itu. Cokelat bisa sampai ke Eropa sejak wilayah Amerika dikuasai oleh orang Eropa. Tanaman cokelat juga mulai ditanam di wilayah-wilayah koloni, salah satunya adalah Indonesia.
Bagi Bangsa Eropa, cokelat merupakan minuman yang sangat berkelas. Pada masa itu pula produksi cokelat berkembang bukan hanya sebagai minuman, tetapi diproses hingga menjadi padat dan menjadi makanan.
Pada ruangan selanjutnya dijelaskan tentang proses pembuatan cokelat mulai dari biji kokoa. Biji kokoa harus difermentasi terlebih dahulu, kemudian dikeringkan dan disangrai untuk memperoleh aroma cokelat yang nikmat. Biji kakao kering yang dihasilkan dari satu buah kakao rata-rata kurang dari 55g, sehingga dibutuhkan 115 biji kakao untuk membuat 100g dark chocolate. Proses selanjutnya dilakukan di pabrik dan untuk lebih jelasnya para pengunjung dapat melihat pabrik Cokelat Monggo yang berada di belakang museum secara langsung.