Yang Maha Esa semenjak dahulu hingga sekarang dan sampai kapanpun tak ada sesuatupun yang beserta-Nya. Bilamana seluruh umat manusia memeluk agama yang dinamakan Islam dan melakukan ritual sesuai dengan cara dalam agama Islam, tak akan menambah keesaan-Nya. Kalaulah segenap umat manusia "kafir" - istilah yang dibelokkan bagi non muslim oleh muslim yang ego/nafsunya masih menjulang tinggi - atau tidak "menyembah"-Nya sesuai dengan ritual Islam, itupun tak akan mengurangi keesaan-Nya. Lalu apa yang menjadi dasaran golongan Islam garis keras, baik para pelaku maupun simpatisannya, melakukan kekerasaan bahkan merenggut hak hidup yang diberikan-Nya kepada mereka yang berbeda pandangan dan ritual dalam "menyembah"-Nya? Islam secara etimologi berati tunduk, patuh, atau berserah diri. Bagi saya pribadi, berserah diri di sini berarti meluruhkan diri/ego/nafsu yang terbentuk dari panca indera yang tidak kekal. Panca indera menyematkan ciri pembeda bagi setiap diri yang berpikir. Diri yang begitu menjulang tinggi seolah merobek langit, yang berpikir dan merasa paling benar serta paling suci di antara yang lain nan berbeda, itulah menurut saya pribadi sebagai golongan "kafir". Maka, fungsi Islam yang sesungguhnya, bagi yang menyadari makna hakikinya yakni berserah diri, adalah bagaimana meluruhkan hawa (keinginan) nafsu (diri) sehingga menyadari kehadiran Yang Maha Pengasih di dalam diri/jiwa. Apa faedah kesadaran tersebut, terlalu panjang lebar bila mesti saya sajikan di sini. (Catatan: bagi yang tertarik tentang tahapan dan faedah kesadaran silakan menyimak pengantarnya di sini: Berserah Diri ) Perbedaan pandangan dalam "menyembah" Yang Maha Esa dan berpikir serta merasa pandangannya yang paling benar adalah suatu kejamakan bagi kebanyakan manusia yang masih begitu lekat dengan keduniaan hasil olahan panca indera. Tetapi terlalu janggal bila perbedaan pandangan serta perebutan pengikut terhadap pandangannya tersebut mengatasnamakan Yang Maha Esa nan tak pernah berkurang atau bertambah keesaan-Nya. Akan lebih jujur bila disadari bahwa perebutan pengikut untuk "menyembah" dengan ciri dan caranya masing-masing adalah untuk pemenuhan hawa nafsu/ego terhadap candu kekuasaan (dengan jumlah pengikut) dan mungkin juga candu berlian (jumlah pengikut dikalikan rupiah) serta candu surga di angan. Inilah kenyataan sesungguhnya yang patut disadari oleh para pemuka Islam garis keras dan Ahmadiyah, yang merupakan manusia-manusia biasa yang masih lekat dengan keduniaan, bukan wakil Yang Maha Hidup, selayaknya saya sendiri dan kebanyakan di antara kita. Pelangi terlalu indah untuk didustai - baca: Pendusta Pelagi, red. Perbedaan warna-warni pandangan maupun kepercayaan adalah suatu keindahan tersendiri dalam dinamika kehidupan ini. Namun, manakala perbedaan pandangan dan kepercayaan serta perebutan pengikut berujung pada kekerasaan dan simbahan darah, maka ini tak bisa dibiarkan! Apakah dengan merasa berhak atas kavling surga di angan karena ciri berikut ritualnya, maka mereka bebas melakukan kekerasan, pembunuhan dan menciptakan neraka-neraka sesungguhnya di dunia ini; bahkan dengan mengatasnamakan Yang Maha Pengasih dan Pemurah dalam merenggut secara kejam hak hidup yang diberikan-Nya? Padahal, Yang Maha Esa tak kan berkurang atau bertambah keesaannya meski semua umat manusia tak "menyembah"-Nya. Sekali lagi, kekerasaan karena perbedaan pandangan dan cara dalam "menyembah" Yang Maha Hidup tak bisa dibiarkan, karena ini sesungguhnya adalah urusan dunia. Ini adalah masalah hawa (keinginan) nafsu (diri/ego) dalam memperebutkan candu kekuasaan, candu segenggam berlian dan candu surga di angan. Ayat-ayat dalam Al Quran dipelintir sedemikian rupa hingga ditonjolkan bagian-bagian kerasnya (yang sesungguhnya bagian dari perjalanan yang bulat utuh dan penuh kedamaian) demi pemenuhan hawa nafsu para pemuka agama Islam garis keras. Namun tak dipungkiri bahwa bagian-bagian ini pula yang dipergunakan oleh mereka-mereka yang ingin menjatuhkan Islam dengan berbagai alasan keduniaan yang sama tentunya. Kekerasaan karena perbedaan pandangan dan kepercayaan adalah urusan dunia dan harus diselesaikan oleh mereka yang diberikan mandat, yaitu pemerintah. Sedangkan pemuka-pemuka agama semestinya membantu dengan mulai meluruhkan ego serta perburuan terhadap candu-candu di dunia dan di angan serta mulai menuturtinularkan akan tujuan. Tuhan Yang Maha Pengasih hadir di dalam jiwa manakala hawa nafsu luruh. Inilah esensi dari Islam nan sesungguhnya, berserah diri/nafsu/ego atau bila dilafazkan sambil diresapi: "..dan hanya kepada-Mu lah kuserahkan jiwa dan raga ini..". Dahulu, manusia suci yang menyampaikan ajaran tentang berserah diri (Islam) itu hanya tersenyum ketika dilempari kotoran oleh para manusia jahil yang merupakan mayoritas; bahkan mendoakan mereka. Tatkala memimpin, minoritas dilindungi hak-haknya, karena beliau bukanlah golongan jahil. Bila beliau hadir bersama kita saat ini, tentu akan menangis menyaksikan umatnya malahan menjadi golongan jahil, baik yang membunuhi yang berbeda pandangan dan kepercayaan seolah lebih rendah dari tikus got, maupun yang hanya berdiam diri saja menyaksikan kejahilan merajalela di nusantara tercinta ini.
Kemanakah lagi kita kan sembunyi Hanya kepadaNya kita kembali Tak ada yang bakal bisa menjawab Mari, hanya runduk sujud padaNya
Kita mesti berjuang memerangi diri Bercermin dan banyaklah bercermin Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini Berusahalah agar Dia tersenyum... oh Berubahlah agar Dia tersenyum oleh: Ebiet G. Ade
Semoga Kang Ebiet G. Ade pun tak berdiam diri menyaksikan kekerasan yang mengatasnamakan Islam dengan paling tidak mengarang, mendendangkan dan menggaungkan lagu tentang kedamaian dalam Islam.. Oleh: Muhammad Iqbal 20 Februari 2011 Lebak Bulus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H