Mohon tunggu...
Abah Iqbal
Abah Iqbal Mohon Tunggu... -

Lahir di Jakarta, tepat tatkala mentari berkalang rembulan. Bergelar Abah bukan karena ahli agama atau orang alim, melainkan menjadi doa agar segera berkeluarga. Pakai Peci karena atribut nasional. Berkalung sorban bukan karena perempuan, melainkan takut masuk angin. Hanya seorang sontoloyo (mencari kewarasan dalam kesintingan). Menulis dalam rangka menenangkan "the beast" di dalam "suksma", "menggugah", sekaligus mengingatkan diri sendiri. Terkadang butuh dihina agar dapat selalu ingat dan waspada untuk merendahkan hati kepada sesama dan merendahkan diri kepada Yang Maha..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tidak Semua Yang Bisa "Aceng" Seperti Aceng Fikry

25 Desember 2012   17:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:03 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13564545381386048322

[caption id="attachment_231466" align="alignleft" width="368" caption="Ibunda nan sumringah kedatangan Pak Jokowi berbuka puasa dan tarawih di rumahku"][/caption] Kasus Aceng (sebaiknya dibaca dengan e pepet) Fikry kembali membuat banyak perempuan menjengek sinis "dasar laki-laki". Namun entah mengapa, tak sekalipun pernah kudengar kesinisan tersebut terucap oleh Ibunda tercinta. Yang ada malahan bagaimana Ibunda senantiasa mewangikan almarhum Ayah kepada kami anak-anaknya, bagaimana Ayah membanting tulang demi keluarga, menyekolahkan kami semua hingga kaki dijadikan kepala dan kepala dijadikan kaki istilahnya. Dan kami anak-anaknya menjadi saksi hidup tatkala tak semalampun Ibunda pernah meninggalkan Ayah ketika masuk rumah sakit, yang menjadi keseharian dalam tahun-tahun terakhir hidupnya karena penyakit sirosis yang dideritanya. Dasar laki-laki? Tidak! Betapa mulia dan dimuliakannya seorang laki-laki yang menjadi suami dan Ayah anak-anaknya di mata Ibunda...dan di mata kami semua anak-anaknya... Tidak semua laki-laki yang sembarangan melampiaskan ke-aceng-annya seperti Aceng Fikry. Masih ada laki-laki seperti almarhum Ayahku! Aceng Fikry adalah contoh extreme laki-laki yang kurang pandai mengendalikan ke-aceng-annya. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri cukup banyak laki-laki di perkotaan yang tak dapat menjaga kesetiaan terhadap ibu dari anak-anaknya. Dan jangan salah, cukup banyak pula perempuan yang seperti itu. Bahkan saya berani bilang 50% lebih keluarga muda yang tinggal di perkotaan mengalami permasalahan rumah tangga yang cukup berat, meski hanya sebagian yang meneruskan hingga ke perceraian demi menjaga harkat dan martabat keluarga besar serta nenek moyang yang mungkin tak pernah peduli dengan keadaannya kecuali sekedar mencari bahan pergunjingan. Jadilah mereka-mereka itu ibarat yang dilagukan oleh Pance,"Kucoba bertahan mendampingi dirimu | Walau kadang kala tak seiring jalan | Kucari dan kucari kucari jalan terbaik | Agar tiada penyesalan dan air mata..." Bagaimanapun, saya percaya hanya sebagian kecil laki-laki yang seperti Aceng Fikry. Saya berani mengatakan, sebagian besar permasalahan rumah tangga yang berujung kepada perselingkuhan sang lelaki disebabkan oleh kesalahan kedua belah pihak, bukan hanya kesalahan di pihak laki-laki. Kebetulan di usia yang belum kepala empat ini, cukup banyak pengalaman yang saya lalui dalam mencermati kehidupan berumah tangga banyak orang. Contohnya dalam kurun waktu tahun 2001-2002, dalam tim saya ada empat lelaki berkeluarga yang rata-rata berusia 39-43 tahun (puber kedua, Bung!) bertugas meng-entertain Jepun-Jepun di tempat-tempat karaoke, karena memang Jepun merupakan pangsa pasar utama kami. Dua orang melenceng tak tahan godaan. Satu orang karena tak tahan godaan akhirnya memperbanyak istri dengan dalih menjalankan anjuran agama, yang lainnya menjadikan pemandu lagu di karaoke menjadi istri kedua sehingga bercerai dengan istri pertama dan akhirnya anak laki-laki pertamanya stress lalu meninggal karena narkoba. Tragis! Sisa dua lelaki lainnya selamat. Yang pertama karena takut dengan istrinya yang kebetulan masih keluarga dengan pemilik perusahaan, sehingga tak masuk hitungan. Namun yang lainnya ini, patut mendapat acungan jempol, tak tergoda sedikitpun oleh para seksi-denok-demplon-cemplon di tempat karaoke, melainkan hanya sebatas menjalankan tugas perusahaan. Apa yang membuatnya tak tergoda? "Kalau macam-macam, saya nanti tak bisa merasakan lagi rendang kesukaan masakan istri saya dan tak ada yang mengurus anak-anak saya, Pak Iqbal", katanya polos. Setahu saya saat ini rumah tangganya tetap berbahagia, karirnya cemerlang dan anak-anaknya telah lulus kuliah di salah satu fakultas kedokteran di Jakarta. Dia patut mendapat acungan dua jempol, namun sang istri patut mendapatkan acungan empat jempol oleh mereka-mereka yang berpikir. Di balik keberhasilan seorang suami ada seorang istri yang hebat/ luar biasa nampaknya hanya sekedar menjadi pameo jaman baheula. Berapa banyak perempuan yang ikhlas menjalani peran dan tanggung jawab kodratinya sebagaimana contoh kisah teman saya di atas? Saat ini kebanyakan perempuan ingin beralih fungsi menjadi laki-laki dengan dalih emansipasi wanita. Mendukung suami dan mengurus rumah tangga mulai menjadi suatu hal yang nista. Karena semua ingin mengejar materi, ingin mengejar aktualisasi diri; yang padahal setelah semua tercapai, tiadalah artinya tanpa pasangan atau anak-anak yang menemani di hari tua nantinya, nan tak kan terwujud tanpa adanya rumah tangga yang damai dan sejahtera. Mati meranggas dalam sepi pada akhirnya. Hanya sedikit lelaki seperti Aceng Fikry. Kebanyakan perselingkuhan terjadi karena ketidakbahagiaan dalam berumah tangga dan keengganan suami atau istri untuk mengubah dirinya. Salah satu alasan utama adalah karena masing-masing ingin mengaktualisasikan dirinya, alpa bahwa dalam berumah tangga, tak ada lagi yang namanya saya atau anda melainkan KITA. Secara kodrati, biarkanlah lelaki menjadi pemimpin dalam rumah tangga, karena biduk yang dipimpin oleh dua nahkoda hanya menunggu waktu untuk tenggelam. Ini bukanlah jaman Siti Nurbaya lagi, dimana perkawinan berlangsung karena perjodohan. Ini abad informasi, dimana anda bisa mengenal dengan sangat dalam satu sama lain sebelum berpasangan. Dan tatkala memutuskan untuk berpasangan setelah pembuktian oleh waktu, maka jadikanlah suami anda sebagai pemimpin serta sayangilah istri anda sebagai satu-satunya yang terkasih di rumah tempat sang suami pulang. Pergeseran nilai-nilai kodrati lelaki dan perempuan, di samping dipengaruhi oleh jaman yang menuntut terpenuhinya kebutuhan materil dan aktualisasi diri pribadi yang dianggap kunci kebahagiaan (padahal tidak!), juga banyak dipengaruhi oleh mereka-mereka yang tersakiti hidupnya oleh lelaki macam Aceng Fikry. Seperti yang diujarkan oleh Paulo Coelho," Janganlah luka (hati)-mu menjadikanmu seseorang yang bukan dirimu". Dendam dan sakit hati tak kan pernah menghasilkan kebaikan apapun di muka bumi ini. Kisah Lysistrata yang menggalang perempuan mogok berhubungan badan dengan lelaki sebagaimana dikisahkan oleh Aristophanes di jaman Yunani Kuno pun tidak bermaksud untuk menyaingi kodrat lelaki, namun sebagai bentuk protes agar lelaki menghentikan Perang Peloponesia karena tidak ada faedahnya bagi para istri dan anak di rumah. Enam kali saya jatuh bangun dalam berusaha, dimana tiga kali dikhianati oleh orang-orang terdekat. Namun itu tidak membuat saya membenci mereka ataupun berhenti bertulus hati kepada rekan-rekan usaha yang lainnya. Saya serahkan semua kepada Yang Maha Pengasih karena itu yang terbaik menurut-Nya dan saya percaya bahwa akan ada pengganti yang lebih baik. Saya tak pernah berheti memberikan ketulusan dalam berikhtiar menciptakan kebermanfaatan bagi sesama. Jelek-jelek begini, saya duduk sebagai salah satu direksi di salah satu perusahaan terbuka di luar negeri, di samping posisi directorship di beberapa perusahaan lainnya, dengan modal dengkul dan otak, dimana hanya segelintir orang Indonesia yang pernah mencapainya. Apakah ini buah dari persistensi saya untuk senantiasa tulus kepada siapapun meski berkali-kali dilukai? Hanya Dia Yang Maha Tahu... Kesinisan gender seperti "dasar laki-laki" atau "dasar perempuan" adalah suatu hal yang tak layak diungkapkan oleh mereka yang berniat membina rumah tangga secara utuh. Rumah tangga itu bagaikan sebuah tim sepakbola. Untuk membina rumah tangga yang istilah kerennya sakkinah-mawaddah-warrahmah, maka anda harus bisa mempercayai dia yang dinisbatkan sebagai pasangan anda sepenuh hati dan menghargai peran masing-masing sesuai dengan kodratnya. Bila anda memelihara syak wasangka dan curiga ataupun memendam dendam atau trauma masa lalu, maka anda tak kan pernah bisa mengalirkan "bola kehidupan" yang terbaik dengan sepenuh hati kepada pasangan anda. Bila keduanya berebutan menjadi "penyerang" dalam menggolkan tujuan berumah tangga, maka dapat dipastikan rumah tangga anda yang akan kebobolan dan menderita kekalahan telak. Maka, bila "target & game plan" berumah tangga telah digelar secara terbuka, percayailah pasangan anda 100%. Hargai dan bermainlah sesuai dengan kodrat masing-masing, dimana ada menjadi "penjaga pertahanan" rumah tangga, yaitu umumnya istri, dan ada yang menjadi "penyerang" untuk mencapai target berumah tangga, yaitu umumnya suami. Boleh saja sekali-sekali pemain bertahan menyerang ataupun sebaliknya. Namun jangan lupakan dan hargailah peran anda agar bisa memberikan yang terbaik bagi rekan satu tim lainnya. Dalam berumah tangga, suami dan istri adalah satu tim dalam menggapai tujuan; saling melengkapi dan menjalani sesuai dengan perannya masing-masing, bukannya saling bersaing yang pada akhirnya melemahkan rumah tangga itu sendiri. Bila pada akhirnya tetap terjadi pengkhiatan terhadap kepercayaan, maka serahkanlah semua hal kepada Dia Yang Maha Tahu, karena pasti itu yang terbaik untuk anda. Kembali kepada kisah jalinan kasih dan rendaan asa Ayah dan Ibunda, saya masih teringat betapa indahnya ketika segala sesuatu dibicarakan di meja makan ataupun menjelang tidur di kamar (kala itu saya masih tidur dalam kamar yang sederhana bersama mereka hingga kelas 6 SD). Ayah yang senantiasa bercerita suka duka dalam mencari nafkah dan ibunda yang setia mendengarkan pun menyampaikan pendapat penuh kasih sayang. Semua serba terbuka, tak ada yang disembunyikan. Ibunda yang penuh ikhlas menjadikan Ayah sebagai Imam dalam rumah tangga, mengikuti arahan dan pimpinannya, yang tentunya dikomunikasikan dan dikompromikan secara bersama terlebih dahulu. Hal-hal kecil seperti meminta ijin kepada Ayah ketika Ibunda hendak bepergian, atau hal-hal besar ketika Ibunda rela meninggalkan pekerjaan besar yang dimulainya ketika saya dan adik-adik sudah bersekolah, demi mengikuti dan mengurus Ayah menjalani dinas di luar kota selama enam tahun, itu adalah hal yang sangat berarti bagi Ayah yang membuatnya semakin sayang dan bertanggung jawab terhadap keluarga. Apalagi mengingat saat ketika Ayah dan Ibunda menikah, di mana Ibunda ikhlas meninggalkan rumah gedongan tempat beliau tinggal besama sepupu kandungnya yang saat itu bisa jadi orang terkaya di Indonesia setelah Pak Harto dan Om Liem, untuk ikut Ayah tinggal di kontrakan sepetak di sebuah gang di daerah Pejompongan.  Pengabdian nan luar biasa, bukan?!?! Perlakuan Ibunda yang memuliakan Ayah membuat Ayah memuliakan Ibunda. Kehidupan dalam berumah tangga sebagaimana dicontohkan oleh Ibunda dan Ayah hingga akhir hayatnya yang menjadi panutan bagi kami anak-anaknya. Silih asih, silih asah, silih asuh dan silih wangi di antara mereka sesuai dengan kodratnya masing-masing terpatri kuat di dalam benak. Dua kali sudah saya menikahkan adik-adik perempuan saya tanpa kehadiran Ayahanda yang telah mendiami alam kehidupan nan sesungguhnya, dan saya yakin nilai-nilai tersebut dibawakan dalam rumah tangga mereka; memuliakan pasangan masing-masing sesuasi dengan kodratnya sehingga bisa memuliakan umat manusia pada umumnya. Aceng Fikry adalah contoh deviasi extreme dari pukul rata statistik prilaku lelaki. Saya yakin, bila perempuan menjadikan lelaki sebagai Imam yang sesungguhnya, sebagaimana dicontohkan oleh Ibunda kami, maka 50% lebih rumah tangga muda yang bermasalah itu akan tereduksi dengan amat signifikan. Ataukah perempuan ingin bertukar peran dengan lelaki? Ataukah anak-anak cukup dibesarkan oleh pembantu atau dibesarkan sendiri sehingga tak lagi memiliki nilai-nilai kekeluargaan? Kembali lagi itu adalah pilihan dari masing-masing insan. Saya cukup "tua" secara batiniah untuk menyaksikan pernak-pernik kehidupan dan menceritakan hikayat tersebut. Kebahagiaan tak dapat diraih dengan materi. Rumah tangga yang damai dan sejahtera adalah kebahagiaan lahir batin yang tak ternilai. Dan itu semua akan tercapai dengan kesadaran kodrati masing-masing yang berlandaskan kepada ketulusan, kejujuran, kepercayaan, keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain. Jangan biarkan ketakutan atau pengalaman dengan lelaki macam Aceng Fikry mengubah diri anda menjadi seseorang yang sebenarnya bukan anda. Selamat merayakan Natal bagi yang merayakannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun