Mohon tunggu...
Abah Iqbal
Abah Iqbal Mohon Tunggu... -

Lahir di Jakarta, tepat tatkala mentari berkalang rembulan. Bergelar Abah bukan karena ahli agama atau orang alim, melainkan menjadi doa agar segera berkeluarga. Pakai Peci karena atribut nasional. Berkalung sorban bukan karena perempuan, melainkan takut masuk angin. Hanya seorang sontoloyo (mencari kewarasan dalam kesintingan). Menulis dalam rangka menenangkan "the beast" di dalam "suksma", "menggugah", sekaligus mengingatkan diri sendiri. Terkadang butuh dihina agar dapat selalu ingat dan waspada untuk merendahkan hati kepada sesama dan merendahkan diri kepada Yang Maha..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Old Soldiers Never Die...

20 November 2009   19:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:15 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_27791" align="alignleft" width="323" caption="Dari kiri: AP, MI, FW, BD"][/caption] Pagi ini aku menangis di depan sahabat kecilku ini. Air mata yang terakhir kucucurkan ketika mentorku, seorang jendral dan salah satu tokoh sentral di institusi telik sandi meninggal dunia. Aku besar di Makassar. Lahir sebagai seorang ningrat Banten, kami sekeluarga harus mengikuti ayah ke Makassar, mengemban tugas sebagai petinggi militer di wilayah Indonesia Timur. Tahun-tahun setelah agresi militer Belanda kedua, hanya ada 2 panglima kemiliteran di Indonesia, yaitu Barat dan Timur. Di masa-masa itu Ek Tjong dan Koheya masih masih membantu ibunya berjualan di sana, dan sekarang Ek Tjong sudah membangun kerajaan bisnis yang terkenal dengan nama yang berkaitan dengan matahari dan logam mulia utama. Entah mengapa jiwa pemberontak meliar semenjak aku kecil. Di Makassar yang terkenal dengan keberangasan orang-orangnya, aku menjadi satu-satunya orang rantau yang menjadi pemimpin jagoan nomor satu di sana. Bahkan suku Jeneponto yang terkenal dengan kekejamannya pun tercerai-berai ketika kuserang bersama kelompokku. Kebiasaan suku Makassar, ketika mereka berteriak,"Kubadik kau!!", barulah setelah itu badik ditusukkan. Sedangkan kami di Banten, ketika berkata,"Kubacok kau..", golok telah membacok sebelum perkataan itu usai. Inilah mungkin yang membuat aku menjadi jagoan nomor satu di sana. Ayah kemudian terlibat suatu kegiatan yang berseberangan dengan pemerintahan saat itu, dan kami kembali ke Jakarta tahun 1955. Keliaranku semakin menjadi-jadi. Sebagai orang rantau, Makassar yang begitu kerasnya saja dapat kutaklukkan, apalagi hanya Jakarta. Bila ada pesta-pesta, anak tokoh nomor satu Republik ini pun akan menghindari tempat di mana aku hadir. Padahal siapa saat itu yang berani menentang ayahnya di Republik ini? Beberapa orang yang kemudian menjadi menteri utama di era pemerintahan orde baru pun pernah merasakan tajamnya badikku. Tahun 1955-1960 di Jakarta, tidak ada jagoan yang tidak bergetar bila mendengar namaku. Tahun-tahun sebelum sebuah partai beraliran kiri mengadakan coup, rupanya pemerintah (faksi kontra aliran kiri) dan institusi telik sandi sudah mengendusnya. Dan karena kecurigaan sudah terkontaminasinya organ-organ yang ada, maka dibentuklah suatu tim khusus yang akan ditempatkan di institusi telik sandi, diambil dari sipil yang berpotensi.. telik sandi unorganik. Dan itu terbukti, ketika suatu malam sepasukan berseragam mencidukku dari rumah, memisahkan aku dari istri dan anak yang masih kecil. Aku digembleng bersama 23 orang lainnya, dimana aku menjadi komandan tim khusus ini. Seperti yang telah diprediksi, akhirnya coup terjadi. Aku dan tim khususku diterjunkan untuk mengambil tindakan apapun yang dianggap perlu terhadap para pemimpin partai berhaluan kiri tersebut serta pejabat-pejabat pemerintahan yang terafiliasi dengan partai tersebut. Entah berapa berapa banyak dari mereka yang terpaksa meregang nyawa lewat tanganku yang berlumuran darah ini. Walau hati kecilku menangis, namun ini adalah tugas negara yang harus kuemban, demi kedaulatan bangsa dan negara. Setelah usai masa-masa operasi khusus tersebut - masa-masa yang diungkapkan dengan versi berbeda dari seorang kawan di sebuah stasiun televisi baru-baru ini -, mulailah aku menjalani penugasan keluar negeri; menjalani kehidupan seperti layaknya dalam film-film James Bond. Fasilitas yang melimpah, wanita-wanita cantik, dan segala sesuatu yang diperlukan dalam melakukan penyamaran merupakan keseharian.. walau terkadang berakhir dengan lumuran darah di tangan. Aku percaya bahwa aku turut berperan dalam mengharumkan institusi telik sandi Republik ini ke seantera jagad pada masa itu. Terkadang aku dipanggil pulang ke Republik ini untuk menyelesaikan tugas-tugas besar yang membutuhkan keahlianku. Seperti turut membidani kelahiran tim khusus pembasmian premanisme di era 80an. Sungguh lucu para preman tersebut. Kebanyakan mereka yang selama ini menghabisi nyawa orang lain dengan mudahnya, biasanya menangis memohon ampun sampai terkencing-kencing sebelum peluru menembus kepala mereka. Hanya 1-2 orang yang berani menghadapi kematian dengan tegar dan mata terbuka lebar. Namun penugasan dan pengabdian demi bangsa dan negara harus mengorbankan kehidupan pribadiku. Tak sempat kurasakan keindahan membesarkan putra-putriku. Istri tercinta pun akhirnya meninggalkan aku..sampai akhirnya ia meninggal dunia di usia muda karena penderitaan mencintai tanpa pernah merasakan kehadiranku secara utuh. Sungguh aku runtuh saat itu, namun panggilan bakti demi bangsa dan negara meneguhkan kembali hati ini. Walau telah usai masa pengabdian formal terhadap bangsa dan negara, namun baktiku terhadap nusa dan bangsa tiada pernah terhenti. Aku dan beberapa prajurit tua lainnya terus bersumbangsih bagi negara ini, walau kebanyakan dari belakang layar..demi tegak dan harumnya merah putih tercinta. Beberapa hari yang lalu, istri kedua yang kunikahi beberapa tahun setelah istri pertama wafat, meninggalkan aku untuk selama-lamanya, ketika aku sedang menjalani baktiku di negeri singa. Saat tiba kembali di Jakarta, aku hanya sempat menyaksikan jasadnya teruruk perlahan oleh tanah kuburan. Pilu, sedih dan perasaan lainnya tercampur aduk di dalam dadaku. Keesokan paginya.. hari ini, aku menyambangi sahabat kecil, yang layak menjadi cucuku. Namun aku merasakan kehadiran Abah Kolot, kakekku yang terkenal di seantero banten dalam dirinya, seperti seorang prajurit tua kawanku dari minang merasakan kehadiran Inyik Gunung Merapi dalam dirinya. Ia hanya tersenyum mendengarkan kesedihanku, sambil mengutak-utik laptop di depannya. Namun senyuman dan sepatah dua kata darinya, kembali mendamaikan hati ini.. belajar mengikhlaskan segala sesuatu yang telah kulewati. Meneguhkan hati bahwa hidup ini harus mempunyai arti lebih besar dari kehidupan itu sendiri. Memantapkan langkahku dan para prajurit tua lainnya untuk terus berbakti bagi nusa dan bangsa sampai akhir hayat dikandung badan, walau tak perlu dicatat dalam sejarah berbangsa dan bernegara. Biarlah semesta ini yang mencatatnya dalam kidung kedamaiannya.. dipersembahkan untuk sahabatku, B*1*1, untuk mengenang kepergian istri tercintanya, 23 Juli 2009 Catatan: Kesamaan waktu, tempat dan nama dalam cerita ini merupakan suatu kebetulan semata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun