Gelombang aksi Hakim Indonesia mulai mencuat kembali ke permukaan pasca 12 (dua belas) tahun tak ada kenaikan gaji. Dinamika gerakan yang dinamai Solidaritas Hakim Indonesia ini mulai beraksi kembali di bulan September hingga Oktober tahun 2024. Gerakan ini berencana akan menggelar cuti bersama (mogok sidang) mulai tanggal 7-11 Oktober 2024 mendatang sebagai wujud protes kepada pemerintah yang tak kunjung merespon kenaikan gaji para Wakil Tuhan ini.Â
Salah satu tuntutan pada aksi kali ini diantaranya adalah peningkatan kesejahteraan hakim dengan desakan kepada pemerintah (pihak eksekutif) untuk segera melakukan peninjauan ulang terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung untuk segera diperbarui dengan aturan terbaru yang sesuai dengan kondisi sekarang.
Tujuan gerakan ini dalam rangka mendukung proses penghormatan atau martabat terhadap institusi peradilan. Karena hal tersebut menjadi prasyarat utama tegaknya martabat dan integritas Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum sebagaimaana disebutkan dalam ketentuan pasal 1 ayat 3 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsep negara hukum diantaranya adalah pengakuan kekuasaan kehakiman yang independen untuk menjalankan peradilan demi hukum dan keadilan serta upaya untuk mencapai negara kesejahteraan (welfare state).
Wakil tuhan yang merupakan julukan bagi seorang Hakim rasanya hanya sebatas sebutan kemuliaan saja secara formal. Sebagai figur sentral dalam proses peradilan Hakim dituntut untuk selalu menjaga tegaknya hukum dan keadilan di negara ini serta selalu mengemban tugas dengan baik dan bersih serta bebas dari perilaku suap maupun gratifikasi. Namun, realitanya mengenai kesejahteraan Hakim pemerintah tidak peduli sejak 12 (dua belas) tahun yang lalu hingga sekarang.
Faktanya, hakim yang kurang mendapatkan perhatian yang serius mengenai kesejahteraan oleh para pemangku kebijakan di Republik ini. Dapat diamati beberapa kasus yang terjadi yang dialami oleh para Hakim khususnya dalam hal insentif yang tidak seimbang dengan beban kerja dan resiko yang dihadapi oleh para Hakim. Sebagai contoh Indonesia dari hari ke hari terus tergerus laju inflasi antara 1,68 persen hingga 8,38 persen, sementara gaji hakim tetap stagnan tak ada perubahan, Â ditambah harga emas yang terus melonjak dari tahun 2012 hingga tahun 2024. Menjadi salah satu penanda bahwa gaji hakim penting untuk ditinjau ulang oleh para pengambil kebijakan yang dalam hal ini pihak eksekutif dan legislatif.
Kehidupan Para Hakim
Seringkali diberitakan dalam beberapa media massa terkait kejadian-kejadian pilu para hakim dalam menjalankan tugasnya di berbagai daerah khususnya para Hakim pada tingkat pertama di daerah-daerah yang secara kesejahteraan jauh dengan hakim yang berada di pusat. Misalnya dalam segi keamanan pribadi ketika mengadili perkara yang perkara tersebut memicu konflik antara para pihak. Tentunya nyawa yang menjadi taruhannya, tak terhitung sudah berapa banyak Hakim diintimidasi dan diserang oleh para pihak setelah menjatuhkan putusan, bahkan di beberapa tempat pernah terjadi pengrusakan kantor Pengadilan oleh para pihak pencari keadilan yang tidak puas dengan putusan Hakim. Selain itu, tidak sedikit para Hakim yang rumahnya didatangi oleh para pihak beramai-ramai.
Mengenai fasilitas kesehatan hakim daerah yang ala kadarnya meskipun ada asuransi dari Pemerintah (BPJS dan Mandiri in Health). Namun, fasilitas kesehatan para hakim di daerah tidak memadahi. Hal itu terjadi karena fasilitas kesehatan tidak tersebar secara menyeluruh di setiap daerah, khususnya daerah terpencil. Akibatnya para hakim harus ke kota atau kabupaten lain untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai dengan jarak tempuhnya 2 (dua) sampai 3 (tiga) jam serta kondisi jalan yang bisa dibilang rusak. Tentunya, tidak masalah jika kondisi sakit mereka (para hakim atau keluarga hakim) tidak terlalu parah. Namun, bagaimana jika kondisi hakim atau keluarganya tersebut butuh penanganan cepat dan intensif, sudah pasti memakan banyak waktu yang berakibat nyawa menjadi taruhannya.
Kemudian fasilitas rumah dinas yang bisa dibilang tidak layak di berbagai daerah. Karena ketiadaan rumah dinas Hakim ataupun kondisi rumah dinas yang rusak parah. Sehingga sampai saat ini Hakim di daerah hanya mendapatkan uang sewa untuk rumah dinas yang jumlahnya relatif kecil di daerah tersebut. Akibatnya, para Hakim tidak mampu sewa di tempat yang layak karena jumlah uang sewanya kecil, sehingga mau tidak mau para hakim mencari tempat tinggalnya yang relatif murah, yang tidak jarang berdampingan dengan para pihak pencari keadilan.
Kemudian, karena minimnya kendaraan dinas, tunjangan transportasi hakim diwujudkan dalam bentuk uang yang diberikan kepada para Hakim setiap bulan dengan jumlah yang minim pula. Akibatnya banyak hakim yang menggunakan uang pribadi untuk mencukupinya. Lalu tunjangan kemahalan yang kecil di berbagai daerah yang memaksa para Hakim mengeluarkan uang pribadi untuk menambahi kekurangannya tersebut.