Terpilihnya Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum Dewan Tanfids PB NU Periode 2021– 2026 di Lampung pada bulan Desember 2021, “seakan” menjadi momentum bagi kembalinya kalangan yang “merasa” mewarisi pemikiran Gus Dur, sebuah tesis yang akan dijawab oleh Ketua terpilih selama periode kepengurusannya.
Dalam sambutan pertama saat terpilih Yahya Staquf menegaskan bahwa salah satu harapannya adalah ingin menghidupkan kembali pemikran Gus Dur, tentu banyak pihak bertanya tanya, pemikiran Gus Dur seperti apa yang akan di hidupkan kembali oleh Ketua Umum terpilih, karena faktanya pemikiran Gus Dur tidak pernah mati, hanya sulit dijalankan bagi yang tidak memiliki kemampuan paripurna.
Gus Dur dikenal sebagai bapak Demokrasi, bagi Gus Dur demokrasi sebagai alat untuk memperjuangkan nilai- nilai keadilan dan kemanusiaan, sehingga Gus Dur dalam perjalanan demokrasi Indonesia, mengalami banyak tantangan bahkan menjadi tumbal demokrasi karena Gus Dur dalam hal tertentu, tidak mengenal kompromi, misalnya saat diturunkan secara paksa sebagai Presiden RI ke 4, oleh Amin Rais dan Megawati Cs, walau yang “merasa” Gusdurian tidak pernah mempermasalahkan hal ini.
Salah satu tradisi Gus Dur adalah membangun kesadaran kritis dalam kehidupan berbagsa sebagai salah satu ciri masyarakat demokratis. Karena itu Jika Yahya Staquf ingin menghidupakn itu, maka tentu harus mampu berdiri selayaknya sebagai bapak Bangsa yang mengayomi semua pihak dan tidak menimbulkan kontroversi politik, dengan isu memberikan “karpet merah” bagi orang lain dan justru mendiskriditkan tokoh dari NU sendiri. Ini jadi problem misunderstanding yang perlu diluruskan.
Salah satu yang ditunggu masyarakat dari seorang Yahya Satquf saat ini adalah menyelamatkan bangsa ini dari paham Islam Intolerans yang ingin menggantikan Pancasila sebagai Dasar negara menjadi Khilafah. Karena NU yang mewarisi Islam Ahalussunnah Waljamah dianggap gagal mencerahkan ummat sehingga kelompok Islam Intolenrans semakin berkembang khususnya di luar jawa dan daerah perkotaan.
Pada sisi lain. NU bagi kalangan Nahdiyin meyakini sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, bahkan di Dunia, walau hanya berdasarkan survey bukan sensus. karena pada umumnya pandangan ini melihat pada dimensi kultural, yang mengelitik adalah Ormas NU dianggap organisasi jago kandang, karena hanya bisa berkembang pesat di Jawa Timur dan sebahagian Jawa Tengah, dimana NU di lahirkan.
NU biasa di identikkan dengan pondok pesantren, sehingga mengkalim dirinya kalangan santri, Namun NU belum maksimal secara kelembagaan mendorong lahirnya pondok pesantren di luar jawa dan perkotaan, untuk menghalau laju perkembangan kelompok Islam Radikal, selama ini hanya mengkalim pondok-pondok pesantren yang berdiri secara mandiri dari kader2 NU, dan Faktanya 15 tahun terakhir pondok pesantren banyak berdiri dari kelompok intolerans.
Banyak kalangan menilai NU gagal mentransformasi pemahaman islam Ahlussunnah Waljamaah, ditengah masyarakat, khususnya di luar jawa, daerah perkotaan dan kalangan Intlektua kampus, sehingga kelompok wahabi dan Islam intolerans lainnya menjadi leluasa mengembangkan paham Islam radikal, bahkan ada Ketua PC NU di Sulawesi Selatan yang hijrah pada kelompok intolenas dan menjadi ulama besar mereka, ini sangat ironis.
Sisi lain konflik dan Intrik politik dalam tubuh NU sangat dinamis dan cendrung gagal di menej dengan baik, sehingga banyak kalangan menilai NU sibuk ngurus dirinya sendiri, bahkan sibuk ngurus ketuanya. Sehingga potensi besar NU sebagai Ormas Islam, disetiap jenjang belum tergarap dengan baik. Karena itu sebagai harapan pada Ketum PB NU, agar focus mengurus NU khususnya Pada peran strategis NU pada bangsa ini dan membenahi manajemen NU agar lebih baik dimasa yang akan datang.
Penulis Arbit Manika