2. Empati Egosenrik (1-2 Tahun)
Seiring dengan perkembangan kesadaran diri, anak mulai menyadari bahwa orang lain memiliki pengalaman emosional yang berbeda dari dirinya. Namun, anak masih cenderung melihat situasi dari sudut pandang egosentrik. Sebagai contoh, ketika seorang teman menangis, anak mungkin memberikan mainan kesukaannya untuk menghibur, tanpa menyadari bahwa mainan tersebut mungkin tidak relevan dengan kebutuhan teman tersebut.
3. Empati untuk Perasaan Orang Lain (2-10 Tahun)
Pada tahap ini, anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki perasaan dan pengalaman emosional yang unik. Anak-anak mampu mengenali emosi orang lain dengan lebih baik dan meresponsnya secara tepat. Misalnya, mereka bisa menunjukkan perhatian dan simpati ketika melihat seseorang sedang sedih, bahkan jika mereka sendiri tidak mengalami situasi serupa.
4. Empati Berbasis Prinsip (Remaja-Dewasa)
Pada tahap ini, empati berkembang menjadi lebih abstrak dan melibatkan prinsip moral serta nilai-nilai universal. Seseorang tidak hanya merasakan empati terhadap individu tertentu, tetapi juga terhadap kelompok atau masyarakat yang menderita, seperti korban bencana atau ketidakadilan sosial. Empati ini menjadi dasar bagi tindakan altruistik yang lebih luas, seperti aktivisme sosial atau bantuan kemanusiaan.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Empati
Hoffman juga menyoroti berbagai faktor yang memengaruhi perkembangan empati, antara lain:
1. Faktor Biologis: Empati memiliki dasar neurologis yang melibatkan area otak seperti amigdala dan korteks prefrontal. Faktor genetik juga memengaruhi sejauh mana seseorang dapat merasakan empati.
2. Pengalaman Sosial: Interaksi dengan orang tua, teman, dan lingkungan sosial lainnya sangat berpengaruh dalam membentuk empati. Orang tua yang menunjukkan kasih sayang dan perhatian dapat menjadi model bagi anak untuk belajar empati.
3. Perkembangan Kognitif: Kemampuan untuk memahami perspektif orang lain (teori pikiran) sangat penting dalam perkembangan empati, terutama pada tahap-tahap yang lebih tinggi.