Mohon tunggu...
Arbania Fitriani
Arbania Fitriani Mohon Tunggu... -

Arbania Fitriani menyelesaikan studinya di Fakultas Psikologi UI pada tahun 2003 dan menyelesaikan pascasarjananya pada tahun 2007 juga di fakultas yang sama dengan gelar cumlaude. Sempat menekuni magister klinis dewasa dan menjalani profesi sebagai terapis, serta penilitian mengenai aspek seksologi manusia membuatnya tertarik untuk terus mendalami aliran psikoanalisis dan tokohnya yang terkenal Sigmund Freud dan C.G Jung. Kecintaannya pada dunia filsafat membuatnya lebih mudah menyelami prinsip-prinsip psikoanalisis. Selain mendalami aliran psikoanalisis, ia juga menekuni psikologi eksperimen khususnya dunia psikometri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kasus Anand Krishna, Apakah Reduplikasi Kasus Mc Martin Trial ?

24 Januari 2011   08:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:14 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Baru-baru ini saya menonton film yang berjudul Indictment : Mc Martin Trial, sebuah film yang diangkat dari sebuah kisah nyata. Film ini mengangkat salah satu kasus hukum yang sangat booming di negara bagian Amerika. Kisahnya bercerita tentang rekayasa kasus yang menimpa keluarga MC Martin. Berawal dari pengaduan seorang ibu kepada kepolisian setempat mengenai anaknya usia 2.5 tahun yang mengalami pelecehan seksual dan diduga dilakukan oleh guru Preschool MC Martin bernama Ray. Setelah munculnya kasus ini, tiba-tiba banyak sekali pengaduan serupa bermunculan dari murid-murid lain. Kasus ini pun menjadi bertambah heboh karena diberitakan secara besar-besaran oleh berbagai media nasional. Berbagai polemik bermunculan di media dan membentuk opini massa. Seluruh keluarga Ray mulai dari nenek, ibu, dan kakak perempuannya yang terkait dengan sekolah MC Martin ditangkap. Atas desakan publik yang sudah terpengaruh oleh penghakiman sepihak oleh media, permintaan bail ditolak ( bail : tidak ditahan selama belum ada keputusan hukum : pen ). Hanya neneknya saja yang diperbolehkan untuk bebas dan tidak ditahan. Proses persidangan berlangsung sangat lama yakni 7 tahuntepatnya 2348 hari yang dimulai tahun 1983 dan berakhir pada tahun 1990 dengan putusan sidang yang menyatakan TIDAK BERSALAH.

Apa yang membuat sidang menjadi sangat berlarut-larut dan sampai menelan biaya 15 juta us dolar ? karena keterangan saksi yang tidak konsisten. Akibat dari kesaksian yang tidak konsisten dan sang jaksa yang sudah mengetahui dari awal bahwa sebenarnya anak yang dinyatakan mengalami pelecehan seksual oleh Ray sudah mengaku di luar persidangan bahwa yang melakukan pelecehan adalah ayahnya sendiri dan ternyata sang ibu adalah pemabuk, akhirnya membuat jaksa tersebut mengundurkan diri karena dia meyakini bahwa Ray sekeluarga tidak bersalah . Namun karena ambisi jaksa wanita lainnya, kasus tersebut tetap dilanjutkan.

Satu pola yang sama adalah semua saksi yang mengaku mengalami pelecehan seksual adalah anak-anak yang di terapi oleh satu orang terapis. Metode pertanyaan yang diajukan terapis adalah dengan menggunakan leading question dimana anak-anak sudah diarahkan ke satu jawaban bahwa mereka telah mengalami pelecehan oleh ray dan keluarganya. Sosok ray dan keluarga diimaginasikan dengan boneka yang jelek, hitam, dan menggunakan nama-nama yang buruk. Apabila mereka menjawab tidak mengalami, mereka akan disebut sebagai anak yang bodoh dan memiliki ingatan yang buruk sampai muncul rasa bersalah pada anak sehingga akhirnya mereka menjawab bahwa mereka memang pernah mengalami pelecehan. Karena kejadian pelecehan itu memang tidak pernah terjadi, akhirnya keterangan dari sang anak pun berubah-ubah antara pengakuan sebelum persidangan pada saat diwawancarai oleh jaksa dan di persidangan. Ada yang awalnya bilang kejadian di tempat pencucian mobil, namun ketika dalam sidang jawabannya berubah bahwa tempat kejadian di airport. Bahkan, ada yang lebih parah dengan menyatakan bahwa kejadiannya di gereja dan ada aliran sesat berupa sekte yang mengagungkan pyramid sehingga harus menghisap darah, demikian jawaban salah satu anak yang menjadi saksi sehingga membuat kasus ini menjadi semakin tidak jelas. Padahal, berdasarkan video sesi terapi anak tersebut, di awal dia mengaku bahwa tidak mengenal Ray, namun setelah dikatakan sebagai anak yang bodoh melalui sesi percakapan boneka antara terapis dengan anak, akhirnya dia mengaku kenal Ray dan mengalami pelecehan seksual dan kemudian keterangannya berubah drastis ketika persidangan. Metode inilah yang kemudian disebut sebagai metode penanaman memori palsu (false memory implant). Apalagi kemudian diketahui, sang terapis punya hubungan dengan seorang wartawan yang pertama kali mengangkat berita ini dan acaranya memperoleh rating yang tinggi pada acara tersebut sehingga terungkap sudah motif munculnya kasus tersebut. Selain itu, kemudian diketahui bahwa sang terapis tidak memiliki latar belakang psikologis atau psikiatris. Dia hanya pekerja sosial yang tidak memiliki kredibilitas untuk melakukan sesi terapi.

Setelah menonton film ini, saya melihat pola yang sangat mirip dengan kasus yang menimpa Bapak Anand Krishna. Mulai dari awal munculnya kasus dimana sang terapis mengaku sudah memberikan terapi kepada TR lebih dari 40 kali selama 3 bulan dan tidak ada kontak dengan dunia luar (dikarantina) hingga kemudian disimpulkan bahwa TR mengalami pelecehan seksual. Sesuatu yang terasa ganjil, mengapa TR baru mengaku mengalami pelecehan setelah diterapi ? Dan setelah saya telusuri, ternyata terapisnya lulusan PIO (Psikologi Industri dan Organisasi), sertifikat terapi yang konon dari Universitas Maryland, tidaklah diambil secara langsung namun dengan mengikuti kuliah jarak jauh (sama dengan universitas yang diambil oleh terapis dalam film). Setahu saya, pelecehan seksual adalah salah satu kasus klinis yang harus ditangani minimal seorang psikolog lulusan klinis dewasa yang sudah mempunyai pengalaman terapi bertahun-tahun, bukannya lulusan PIO, yang mengambil sertifikat hypnoterapi dengan sistem jarak jauh karena tidak semua kasus dapat diselesaikan dengan hypnotherapy. Salah-salah, yang terjadi justru bukan membangkitkan memori yang terkubur, tapi justru malah membuat memori yang ada menjadi bias atau distorsi sehingga yang muncul justru persepsi yang salah terhadap suatu peristiwa apalagi dari pengakuan terapis sampai dilakukan puluhan kali.

Bisa jadi memang ada satu peristiwa, seperti kata “I love u” atau foto bersama, lalu dari peristiwa itu kemudian dipersepsikan secara keliru. Padahal kata ‘I love u’ atau foto bersama merupakan hal yang sangat lumrah, dimana makna I love u itu lebih universal antara orang tua ke anak atau ke sahabat dan tidak hanya sekedar urusan seks antar lawan jenis. Demikian pula dengan foto bersama dimana fakta menunjukkan bahwa ratusan orang pun berfoto bersama dengan pose yang sama juga dengan hadiah-hadiah. Saya pun mendapatkan hadiah gantungan kunci ganesha dari Bapak Anand Krishna (Ganesha : simbol kebijaksanaan) namun tidak saya persepsikan sebagai bentuk perhatian lawan jenis. Dari stimulus ini, bisa berkembang persepsi yang keliru yang kemudian berkembang menjadi suatu beliefs yang tertanam melalui suatu proses terapi secara intensif dan repetitf seperti terapi puluhan kali dan pasien tidak boleh kontak dengan dunia luar. Namun sekali lagi, karena memang peristiwa itu tidak pernah terjadi, akhirnya informasi yang disampaikan pun menjadi berubah-ubah seperti yang terjadi di persidangan. Saya menjadi lebih yakin setelah membaca berbagai artikel mengenai kasus-kasus nyata terkait dengan false memory implant yang terjadi di luar negeri (informasi lebih detail mengenai kasus-kasus hukum mengenai FMI bisa dibaca melalui artikel http://www.facebook.com/?sk=messages&tid=10150092312006940#!/notes/su-rahman/mengenal-penanaman-ingatan-palsu-false-memory-implant/10150097991544153). Keyakinan saya bertambah setelah membaca hasil penelitian Mazzoni, et.all (1999) mengenai bagaimana seorang therapist bisa menanamkan memori palsu terhadap pasien (http://www.spring.org.uk/2008/02/therapists-can-implant-false-beliefs.php). Bagaimana metode eksperimen Mazzoni akan saya bahas dalam artikel saya selanjutnya.

Kesamaan lain dari kasus MC Martin Trial dalam film indictment adalah kasus ini besar karena peran media. Belum ada keputusan hukum, pihak Bapak Anand Krishna sudah di hakimi bersalah oleh masyarakat. Padahal proses hukum masih berjalan, dan belum ada keputusan yang resmi. Sepertinya, istilah “asas praduga tak bersalah” itu hanya slogan kosong belaka. Persis sama dengan apa yang dialami oleh keluarga Mc Martin. Siapa yang pertama kali mengangkat kasus ini ke media pun adalah seorang wartawan yang juga seorang pengacara. Tentu bagi yang mengikuti kasus ini tentu ingat siapa yang pertama kali banyak berbicara di media ketika awal kasus ini muncul di bulan februari. Ya, dia adalah seorang pengacara yang juga insan pers. Lalu kira-kira apa motifnya ? silahkan para pembaca renungkan, apa hubungannya FPI datang ke persidangan ? siapa yang membuat orang nomor satu di FPI dijebloskan ke penjara tahun 2008 ? siapa pihak yang anti kebhinekaan, anti pluralism ? siapa pihak yang tidak menyukai kampanye anti kekerasan ?

Seperti kasus MC Martin yang akhirnya dimenangkan oleh Ray sekeluarga, anak-anak yang melapor hanyalah korban dari sebuah metode terapi yang tidak bertanggung jawab, metode penanaman memori palsu, korban dari sebuah ambisi. Demikian pula adik saya TR, dia yang pernah semobil bersama saya, menari dan bernyanyi bersama saya, hanyalah KORBAN, TAPI BUKAN KORBAN PELECEHAN, TAPI KORBAN DARI AMBISI, DARI KONSIPRASI MELAWAN PLURALISME. Dalam kasus ini jelas bukan Anand Krishna yang diserang, tapi kebhinekaan, pluralism, multikulturalisme. Over all, saya hanya mau mengatakan I Love U sista.. Seperti kata Imam Ali Karamallahu Wajha ketika berhadapan di medan perang dengan orang-orang yang dulu adalah sahabatnya, beliau berkata “mereka bukan musuh kita, tapi saudara kita yang sedang bersebrangan pendapat”. Bagiku, kalian tetap saudaraku yang kini sedang bersebrangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun