Uji publik kurikulum baru saja di mulai, berbagai pihak mulai memberikan komentar miring tentang perubahan kurikulum kali ini. “ Ganti menteri, ganti kurikulum,” ungkapan ini tidak asing lagi di telinga kita. Sepanjang Indonesia merdeka sudah sepuluh kali perubahan kurikulum itu dilakukan oleh Kemendikbud, sejak Rencana Pembelajaran tahun 1947 hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006. Dan apabila jadi dilaksanakan kurikulum 2013 ini adalah yang kesebelas kalinya.
Kita boleh saja berbesar hati dengan ramalan Mc Kinsey, bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan masuk ke dalam negara-negara yang menduduki posisi penting. Menurut lembaga ini, bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan menempati posisi ke-7 ekonomi dunia, mengalahkan Jerman dan Inggris. Ramalan Mc Kinsey ini hendaknya jangan membuat kita larut dalam mimpi. Namun harus dijadikan sebagai penyemangat diri. Karena fakta yang ada dilapangan hari ini berbicara lain.
Sebagaimana diberitakan Kompas 3/12/2012, Kompetensi pelajar Indonesia masih di bawah pelajar lain di Asia, seperti Jepang, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Hanya lima persen pelajar Indonesia memiliki kompotensi berpikir analitis. Kompotensi yang dimiliki sebagian besar pelajar pada tingkat mengetahui. Data itu mengacu laporan Mc Kinsey Global Institute “ Indonesia Today” dan sejumlah data rangkuman Kemendikbud yang baru-baru ini dirilis.
Tuntutan Kurikulum
Melihat kondisi riil yang ada, berbagai upaya harus segera dilakukan, salah satunya perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum 2013 ini adalah upaya untuk meningkatakan kompotensi peserta didik. Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah guru-guru yang ada dilapangan sudah disiapkan baik dari segi kompotensi maupun cara mengajarnya yang sesuai dengan tuntutan kurikulum ini?
Untuk melaksanakan kurikulum 2013 ini di tuntut guru yang sangat “super”. Sebagai mana hasil UKA dan UKG yang baru-baru ini dilaksanakan, terlihat sangat jelas bagaimana keadaan kompotensi yang dimiliki oleh guru-guru kita. Kesenjangan kemapuan guru antara satu daerah dengan daerah lainya sangat jauh mencolok, dan menunujukan tingkatan kesenjangan yang luar biasa.
Rencana Kemendikbud untuk mengadakan pelatihan guru dalam rangka persiapan kurikulum baru ini patut kita hargai. Dimana rencana awalnyasebanyak 40.000 guru terbaik sebagai pelatih inti yang nantinya akan menularkan ilmunya kepada sekitar 350. 000 guru lainnya dalam waktu enam bulan. Ini tentunya sesuatu yang sangat luar biasa. Guru inti akan menjadi “pesulap” yang akan menyulap guru lainya dalam sekedip mata.
Tidak dapat dipungkiri, sering kita lihat dan temukan, pelatihan atau diklat itu biasanya tidak ada yang dengan serius melakukanya, baik peserta maupun panitianya. Sering sekali dalam pikiran peserta terlintas bahwa pelatihan hanyalah sebuah proyek, dan yang terpenting adalah tanda tangan. Dan diperparah lagi dengan kebiasaan pelatihan atau diklat yang sering dipersingkat. Misalnya, waktu pelatihan yang seharusnya sepuluh hari diperpendek menjadi delapan hari. Itulah keseharian dalam pelatihan guru atau pun diklat. Apakah diklat atau pelatihan semacam ini akan melahirkan pemahaman tentang bahan yang diberikan?
Pada dasarnya yang perlu disentuh sekarang adalah budaya guru, agar mau meninggalkan “budaya lama” yang tidak sejalan dengan kurikulum baru. Salah satunya adalah gaya mengajar yang masih konvensional dan tidak mau belajar secara mandiri. Kesadaran dari guru agar mau merubah dirinya dari dalam yang harus dibudayakan. Dengan cara memaknai mengajar adalah panggilan hati dan mengajar adalah bagian dari ibadah.
Ketika mengajar dimaknai seperti itu dengan sendirinya guru tidak merasa cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya. Dia akan terus memperbaharui kemampuan yang telah dimilikinya. Dia akan mencari dan terus mencari segala kekuranganya. Dia merasa tidak cukup dengan apa yang telah dimilikinya sekarang.
Kompotensi yang mumpuni
Dalam kurikulum baru, guru dituntut menjadi seorang yang memang benar benar ahli dan mempunyai kompotensi yang mumpuni. Tudingan selama ini guru tidak memilki kompotensi adalah sesuatu yang harus dijawab oleh guru itu sendiri. Dengan cara meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama, seperti merasa cukup dengan ilmu yang telah dimiliki sekarang. Pemahaman seperti itu tentu tidak sejalan dengan tuntutan masa depan. Karena diyakini masa depan akan sangat bergantung terhadap ilmu pengetahuan.
Jika pada saat ini sumber daya alam merupakan andalan utama dalam mengerakan perekonomian dan pembangunan, maka kedepan diyakini yang akan mengerkan pembangunan dan perekonomian adalah ilmu pengetahuan (baca: Sosok Ideal Manusia Indonesia Generasi 2045). Hal ini menuntut guru yang memiliki sifat pembaharu dengan menguasai berbagai kompotensi untuk bisa melahirkan anak-anak didik yang memiliki kompotensi yang siap bersaing demi masa depan yang lebih baik.
Akhirnya, bagaimanapun bagusnya kurikulum tidak akan berjalan mulus, jika tidak diimbangi dengan kemampuan seorang guru yang menjalankanya di lapangan. Apa bila ini dikesampingkan, kurikulum yang dirancang bagus oleh ahli pendidikan sekalipun akan tidak bermakna apa-apa. Yang kita inginkan bersama adalah adanya kemauan dari semua pihak yang bisa menggangkat kompotensi setiap anak didik kita dari berbagai jenjang pendidikan yang ada.
Kita ingin anak didikyang memiliki kompotensi yang unggul dan mampu bersaing. Kompetensi yang unggul tentu dilahirkan dari sistem pendidikan yang didukung oleh guru yang memiliki kompotensi tinggi dan kurikulum yang sesuai dengan tuntutan jaman dan karakteristik anak. Semoga.
Dimuat opini Serambi Indonesia,18/12/2012
http://aceh.tribunnews.com/2012/12/18/guru-dan-kurikulum-baru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H