***
Jalanan Jakarta selalu dipadati oleh kendaraan bermotor, membuat arus lalu lintas tersendat. Aku menghela nafas panjang, berusaha menikmati kemacetan kota, tempatku mengais rezeki. Setiap hari melewati jalan yang sama membuatku hafal begitu banyak kehidupan dibawah gedung-gedung yang menjulang tinggi ini. Hiruk pikuk Jakarta, kesemrawutannya, juga kemacetan sudah menjadi hal yang biasa dihadapi oleh para petarung kehidupan. Mencari nafkah dibawah terik matahari, menahan lapar dan haus demi mengantongi sedikit rupiah, ah, betapa semua itu membuat aku salut terhadap mereka.
Dering ditelepon genggamku menyadarkanku dari pikiran-pikiran yang sudah melanglangbuana. Ternyata reminder, pukul 11.00 ini aku harus menghadiri pertemuan dengan klien baruku, dan pukul 12.00 aku harus menghadapi klien yang kemarin aku beri tugas. Kuletakkan kembali telepon genggamku. “Pak Min, nanti berhenti di rumah sakit dulu ya, aku ada janji sama orang” ucapku kepada supirku. Pak Min mengangguk dan berkata “Inggih bu”
Aku melangkah ke sebuah rumah sakit, menelusuri koridor demi koridornya, dan memasuki sebuah ruangan. “Ibu, Lita datang” ucapku sambil mencium kening tangannya khidmat.
“Sugeng rawuh, nduk, kamu ndak kerja?” Tanya ibuku
“kerja, tapi mau nengokin ibu dulu disini. Ibu udah makan?” Ia hanya menggeleng. “Lita bawain bubur ayam kesukaan ibu, Lita suapin ya”
Ibuku sudah lama dirawat disini, ia mengalami depresi berat setelah ditinggalkan oleh ayahku. Ia meninggalkan ibuku disaat aku hampir menyelesaikan pendidikan strata 1ku. Saat itu ibuku hanya bergantung pada ayah, ia tidak bekerja, ia hanya ibu rumah tangga yang fokus mengurus anaknya, aku. Ia kadang bersikap agresif terhadap orang-orang, tapi tidak terhadapku. Ia memang sulit makan, bicarapun kadang terbata-bata.
Aku bersyukur ia masih mengingatku sebagai anaknya, ketika semua orang tak lagi diingat termasuk ayahku. Ia tak mau nama atau sebutannya saja terdengar olehnya. Ia bisa sedih dan histeris. Aku sangat menjaga perasaannya, menumbuhkan rasa percayanya kepada orang-orang sekitarnya dan mengajarinya menerima apa yang sudah digariskan Tuhan. Tidak, aku tidak mendoktrin ibuku, juga tidak bermaksud kurang ajar karena berani mengajarinya tentang hidup. Namun, aku bisa katakan jika sekarang keadaan ibuku jauh lebih baik daripada pertama kejadian itu menimpanya.
Tidak ada yang mau mengalami kejadian buruk dalam hidupnya, termasuk ibuku. Ia termasuk tipe setia dan manut terhadap suami. Suatu ketika, aku ingat betul. Siang hari ayahku mengemas semua pakaiannya dan pamit untuk bekerja. Aku dan ibuku tidak menaruh rasa curiga sedikitpun. Hingga berbulan-bulan kemudian ia tak pernah muncul lagi di hadapanku dan ibuku, bahkan saat wisuda kelulusanku. Aku dan ibu tidak sengaja bertemu dengan ayah, di sebuah pusat perbelanjaan, ibu melihat dengan sangat jelas, ayahku sedang bergandengan tangan mesra dengan seorang perempuan muda sebayaku. Ibuku histeris dan menampar ayahku. Ketika kutanya siapa dia, jawaban ayahku hanya “Dia istriku, kalian jangan ganggu aku lagi” aku menangis dan ibuku semakin histeris. Ia membuang kami, entah berapa banyak orang yang menyaksikan histerisnya aku dan ibuku waktu itu.
aku senang sekarang ibuku sudah jauh lebih baik. Begitu kusuapi bubur, ia makan dengan lahap. Bahkan ia makan hingga dua bungkus. Ia menanyakan bagaimana kabar suamiku dan pekerjaanku. Aku masih menjawab alakadarnya saja, tidak mau memberatkannya.
****
Satu pertemuan sudah aku lewati, kini saatnya menghadapi klien tetapku. Mereka datang berdua, sang pria masih memakai kemeja lengkap dengan dasi dan jasnya. Sedangkan sang wanita hanya memakai baju alakadarnya saja, make up seadanya, dan rambut dikuncir satu. Sang wanita terlihat datang karena terburu-buru dan tidak sempat mengurus penampilannya, khas ibu rumah tangga.
“Selamat siang, Pak Johan dan Ibu Lily, silahkan duduk” ucapku ramah
“Siang mbak” ucap mereka membalas sapaanku. Mereka kemudian duduk di kursi yang telah aku siapkan
“Maaf, saya ga bisa lama-lama karena mau rapat buat proyek baru jam 7 nanti, tapi mungkin jam 4 saya sudah harus jalan”
“Iya, pak, nanti bapak bisa duluan kalau belum selesai, saya lanjutkan dengan ibu saja dulu. Oh, iya, PR kemarin tolong dikumpulkan” aku mengambil lembaran-lembaran kertas dari suami istri ini, kemudian menyimpannya terlebih dahulu.
“Tiga tahun menjalani kehidupan bersama, tentunya anda berdua sudah cukup paham dengan pasangan. Coba tolong tuliskan makanan dan minuman apa yang anda sukai, pada lembaran yang sudah saya siapkan di hadapan anda.
Tiba-tiba telepon genggam Pak Johan berdering. Aku lupa menyuruh mereka mematikan telepon genggamnya, dan tidak bisa mencegah Pak Johan yang kemudian mengangkat telepon dan keluar sejenak. Sementara Ibu Lily sibuk menulis, aku melihat apa saja yang telah ditulis oleh kedua pasangan ini pada PR yang kuberikan kemarin. Aku melihat banyak sekali yang mereka tulis pada bagian hal-hal yang disukai dari pasangan, mereka menuliskannya berlembar-lembar. Lalu aku membuka lembar yang tidak disukai, Pak Johan hanya menulis satu kalimat “Rendah dirinya yang terlalu berlebihan.” Dan Ibu Lily bahkan tidak menuliskan apa-apa pada bagian tersebut.
“Maaf, mbak, saya harus kembali ke kantor, ada rapat dadakan,” katanya terburu-buru mengambil tas dan pamit. Ia bahkan bersikap acuh terhadap istrinya, tidak menganggap istrinya ada di ruangan.
Ibu Lily tertunduk sedih tapi ia berusaha tidak memperlihatkan kesedihannya. Ia meletakkan pulpen yang ia pegang dan berkata, “Johan tau saya paling suka nasi goreng dan bakso, tapi itu menjadi tidak penting buat saya. Ketika memutuskan hidup bersama saya menyukai semua yang diberikan suami saya” ucapnya lirih, ia menghela nafas panjang “Saya menyukai makanan manis begitupun dia, tapi ketika dokter mendiagnosanya mendapat diabetes tahap satu, saya berusaha keras menghilangkan kebiasaan kami memakan yang manis-manis. Saya bertanggungjawab atas kesehatan suami saya.” Ia berhenti sejenak, berusaha menahan sakit hatinya. “Pada awalnya memberinya sayur-sayuran yang paling ia benci sungguh siksaan buat saya. Saya tau dia tidak suka, tapi dia berusaha keras menelannya, dia suami yang baik” kenangnya
Ibu Lily bercerita panjang lebar mengenai rumah tangganya yang begitu terasa bahagia. Ia memiliki anak-anak yang cerdas, yang juga sangat ia syukuri. Ia terlihat kuat dari luar, namun sangat rapuh.
****
Sore menjelang, aku merapikan meja bersiap-siap pulang ke rumah. telepon kantor berdering, Cilla, sekretarisku, menghubungkan telepon ke line ku “Halo…” sapa orang diseberang telepon
“Ya, halo, dengan siapa saya bicara, ada yang bisa dibantu?” ucapku
“Saya Pak Johan, bisa minta waktunya sebentar, mbak Zenita? Saya sudah di depan kantor mbak Zenita” suaranya terdengar gusar
Setelah menimbang-nimbang aku putuskan untuk menerima ia sebagai tamu terakhir dan meminta Cilla untuk menungguku pulang. Aku menerima dia di lobby kantor bersama Cilla.
“Baik, Pak Johan, ada yang bisa saya bantu? Sepertinya anda terlihat gusar” ucapku sembari memerhatikan tingkah lakunya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H