Mohon tunggu...
Arayu
Arayu Mohon Tunggu... Lainnya - writer

Dare to dream and reach it!!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Story Behind Married (1)

7 Mei 2014   14:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernikahan. Semua orang di muka bumi ini pasti ingin menikah dengan orang yang mereka cintai, baik itu sejenis atau lawan jenis. Setiap wanita pasti menginginkan momen tersebut menjadi momen yang indah untuk dikenang. Banyak cara yang dilakukan untuk menggapai dan melalui prosesi sakral tersebut, salah satunya dengan melakukannya dalam adat dan tradisi masing-masing.

Aku adalah orang yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai pernikahan. Bagiku, pernikahan bukan hanya sekedar pelegalan sex semata, seperti yang banyak dilakukan teman-temanku. Pernah suatu ketika aku bertanya pada salah seorang sahabatku ketika kami sedang reuni SMA. Ia menjawab, “Iya, kalo lama-lama pacaran takut dosa soalnya” katanya disambut tawa dari teman-temanku yang lain. Argumen pun berlanjut “Gue setuju, kalo udah nikah kan mau ngapa-ngapain udah ga deg-degan lagi, udah sah soalnya” Uci, yang juga sahabatku menimpali.

Macam-macam alasan orang cepat menikah, salah satu yang paling banyak juga adalah agar tidak kalah muda dengan anaknya kelak. “kan enak tuh punya anak yang ga jauh beda sama kita, biar keliatan kaya kakak adek gitu,” seloroh temanku ketika kutanya alasannya menikah muda. Alasan-alasan tersebut seringkali membuatku tersenyum dan berpikir how happy they are, cukup berpikir secara sederhana saja dan mereka langsung memutuskan menikah.

Tapi masalah yang dihadapi dalam sebuah pernikahan sungguh sangat besar, diperlukan kematangan berfikir dan mental yang kuat untuk menyelesaikannya. Pernikahan buatku sungguh sangat kompleks. Tanggungjawabnya sungguh besar. Bukan hanya tanggungjawab terhadap kedua orangtua yang menikahkan sekaligus menjadi saksi, tapi juga janji kita kepada Tuhan. Janji yang dibacakan di depan altar oleh pendeta, bukan cuma sekedar sakramen pernikahan yang tidak ada nilainya. Atau ketika wali nikah mengucapkan ijab qabul untuk mensahkan mereka sebagai suami istri. Saat itu juga tanggung jawab besar dipikul bersama. Untuk menjadikan pasangan kita satu-satunya orang yang menemani hingga maut memisahkan, membesarkan dan mendidik anak-anak dengan ajaran masing-masing juga tanggungjawab besar.

“Apa yang disahkan oleh Tuhan, tidak dapat diceraikan oleh manusia” begitu nasehat pendeta dalam sakramen pernikahan.

Pekerjaanku menyelamatkan setiap pasangan dari ambang perceraian. Aku tau, aku tidak boleh terbawa perasaan dalam menyelesaikan tugasku. Namun, sedih rasanya jika aku gagal menyelamatkan klien-klienku. Kadang mereka lupa pernah bahagia dengan pasangannya, kadang mereka juga merasa terlalu gegabah untuk menikah. Begitu banyak alasan untuk bercerai tapi tidak sedikit juga yang memilih untuk bertahan.

Atas dasar ketidakcocokan mereka memutuskan bercerai. Alasan yang sangat klise menurutku. Bukankah ketika memutuskan menikah, mereka secara sadar menyetujui dan menerima segala ketidakcocokan yang ada pada pasangannya?  Lantas mengapa masih ingin memutuskan ikatan suci dari Tuhan? Bukankah Tuhan sangat membenci adanya perceraian?

Salah satu klienku seorang lelaki yang kaya raya, mungkin dia termasuk tipe laki-laki idaman para wanita. Dia mapan, good looking, cerdas, dan tutur katanya begitu halus. Dia menikahi wanita dari kalangan biasa-biasa saja, namun begitu pandai mengurusnya hingga anak-anaknya. Pernikahan mereka sudah masuk tahun ke 3. Ketika sang lelaki mendatangiku dan mengemukakan argumennya untuk bercerai. Sekilas memang tidak nampak masalah yang besar, mereka justru terlihat sangat harmonis. Hening menyeruak, lelaki itu menghembuskan nafas panjang. Ia mengaku sudah mempunyai wanita lain yang juga sangat dia cintai. Ia berjanji akan menjadikan selingkuhannya itu sebagai istri sahnya. Ia mengaku terpaksa memilih menceraikan istrinya. Aku terperanjat dan sontak bayanganku kembali ke tiga tahun lalu, ketika mereka datang dan merencanakan pernikahan. Salah satu masalah ialah hubungan mereka kurang mendapat restu dari orangtua wanita. Tapi dengan seringnya mereka berkonsultasi akhirnya mereka mendapat restu juga. Dan sekarang, ia ingin bercerai?

Aku memegang tangan sang wanita, setidaknya aku harus menguatkan wanita ini. Ia terlihat begitu terpukul atas pilihan suaminya. Aku bertanya hal-hal wajar yang sering aku tanyakan pada semua klienku. Hingga pada tahap, apakah dia masih mencinta suaminya? Wanita ini menunduk, ia tak mampu lagi menegakkan kepalanya. Ia menangis, tanda dia belum siap mengakhiri rumah tangga yang ia bangun bersama sang lelaki. Aku mengerti betul perasaannya, ia benar-benar terpukul. “Bagi saya, dia suami  yang sangat baik. Saya mencintai dia seperti saya mencintai diri saya dan anak-anak saya” ucap wanita ini terbata-bata. “Saya menerima cinta dan kasih sayang yang dia berikan tapi tidak pernah berfikir dia akan membaginya dengan wanita lain” air mata masih mengalir deras di kedua pipinya “Saya benci, tapi bukan kepada dia atau wanita itu. Saya benci diri saya karena sudah gagal mengurus suami. Saya tidak bisa menjaga suami saya. Saya bukan istri yang baik”

Dalam kurun waktu lima tahun ini, aku sudah banyak menangani permasalahan rumah tangga orang. Namun baru kali ini aku menemukan wanita yang sabar, dan tidak arogan terhadap pasangannya. Well, biasanya kalau kasus seperti ini, wanita pasti sudah marah-marah dan merasa tidak terima karena sudah diselingkuhi oleh prianya. Wanita ini sangat berbeda, ia tidak mempunyai kepercayaan diri bahkan untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya sebagai istri. Hal ini tidaklah baik karena sang wanita mempunyai sifat rendah diri yang berlebihan.

Aku menarik nafas panjang. Dua orang dihadapanku ini sangat menguji kesabaranku. Terkadang hal yang paling sulit justru untuk tidak melibatkan perasaan dalam menghadapi permasalahan klien-klienku. Aku menyuruh mereka pulang, berfikir secara jernih sambil menuliskan apa saja yang sang pria suka dan tidak suka dari sang wanita, begitu juga sebaliknya.

Melihat mereka, aku merasa bersyukur mempunyai orang yang tidak pernah neko-neko seperti Mas Ari. Ia termasuk lelaki sabar dan tidak pernah mengeluh menghadapi aku. Komunikasi menjadi hal yang paling penting dalam hubungan kami. Aku ataupun dia tidak pernah betah bertengkar, selalu merasa ada yang hilang atau kurang bila tidak bertegur sapa. Dia mencintai saya seperti dia mencintai dirinya dan keluarganya, aku pun begitu. Dan yang paling penting kami sama-sama takut Tuhan, oleh karena itu kami selalu menjaga janji suci yang telah kami buat dihadapanNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun