Dylo
Dylo merasakan kecemasan yang mendalam saat Cila jatuh ke dalam kesulitan yang tak bisa ia atasi sendirian. Bagi Dylo, hubungan mereka lebih dari sekadar pertemanan; ia telah merasakan ikatan yang kuat sejak awal pertemuan mereka. Saat mendengar suara Cila yang lemah dan putus asa di ujung telepon, hatinya terasa remuk. Ketidakberdayaannya dalam membantu langsung membuat Dylo merasa frustrasi. Ia terus-menerus bertanya, memastikan bahwa Cila masih ada di sana, bahwa ia masih mendengarnya.
Kenangan pertemuan pertama mereka di toko buku mengalir dalam benak Dylo, sebuah momen sederhana yang baginya memiliki arti yang mendalam. Dylo selalu mengingat tatapan pertama Cila, cara bicaranya yang tenang, dan aura yang membuatnya ingin terus berada di dekatnya. Meskipun Cila masih meragu, Dylo yakin bahwa pertemuan itu bukanlah kebetulan.
Ketika Dylo mengenal Cila lebih dalam, ia menyadari sisi rapuh yang tersembunyi di balik kepribadian kuatnya. Cila bukan hanya seseorang yang ia kagumi, tetapi juga seseorang yang membuatnya merasa bertanggung jawab untuk melindunginya. Rasa frustrasi dan keinginannya untuk membantu menciptakan tekad yang bulat dalam dirinya. Kini, mendengar tangisan dan rasa sakit Cila, Dylo semakin yakin bahwa ia ingin menjadi tempat di mana Cila bisa merasa aman dan dihargai---sesuatu yang selama ini mungkin kurang ia dapatkan dari hubungan sebelumnya dengan Oza.
Kehadiran Dylo dalam kehidupan Cila bukan hanya soal memberi dukungan; ia ingin membuktikan bahwa ada seseorang yang bisa dan akan selalu ada untuknya, tanpa diam atau mengabaikan perasaannya.
Dylo tetap menekan layar ponselnya, mendengarkan napas Cila yang terputus-putus di seberang. Rasa sakit yang tersirat dari setiap helaan napas itu membuat hatinya terasa seperti diremas. Dylo tahu, keadaannya saat ini jauh lebih rumit dari sekadar perasaan yang ia pendam. Rasa tanggung jawab yang muncul bukan hanya karena ia menyukai Cila; tapi juga karena ia tak tahan melihat orang yang ia sayangi harus menjalani beban emosional seorang diri.
Sambil memandangi layar ponselnya yang menampilkan nama Cila, Dylo menguatkan hatinya. Di masa lalu, ia hanya bisa melihat Cila dari jauh. Ia tahu bahwa dalam hati Cila, masih ada cinta yang rumit untuk Oza, lelaki yang telah mendampinginya bertahun-tahun. Meski demikian, Dylo selalu bersedia menjadi pendengar, tempat pelarian, dan sahabat. Ia paham bahwa Cila adalah sosok yang tak mudah membuka diri---seorang wanita mandiri dan kuat yang jarang meminta bantuan.
Namun, malam ini berbeda. Ada keretakan dalam dinding kokoh yang selama ini Cila bangun. Ia yang biasanya menahan diri, kini terpaksa berserah di hadapan Dylo, bahkan dari kejauhan. Dylo merasa inilah saatnya untuk menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar pendengar di ujung telepon.
"Lo denger gue, Cil? Gue mau lo tutup semua luka itu pelan-pelan. Gue tau lo kuat, tapi lo nggak perlu jalan sendirian kali ini," ujar Dylo dengan suara tenang, berusaha memberi Cila kenyamanan.
Cila terdiam sejenak, merasa kata-kata Dylo menyeruak masuk ke hatinya yang selama ini penuh luka. Di tengah sakit fisik yang ia rasakan, ia merasakan secercah hangat yang begitu asing namun melegakan. Ia menghela napas dalam, mencoba meresapi ketulusan yang terpancar dalam suara Dylo. Baginya, sosok Dylo adalah oasis di tengah keputusasaan yang ia rasakan, tempat ia bisa beristirahat sejenak dari kekacauan dalam hidupnya.
"Lo terlalu baik buat gue, Lo..." lirih Cila, suaranya bergetar. "Gue bahkan nggak yakin, kenapa lo mau repot-repot peduli sama gue yang penuh masalah ini."