Mohon tunggu...
Qorina Ilmi
Qorina Ilmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

penggemar hello kitty

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Merajut Kembali Rasa Aman, Peran Perempuan dalam Menyikapi Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

30 September 2024   21:45 Diperbarui: 30 September 2024   23:00 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perguruan tinggi memiliki peran strategis dalam membentuk generasi muda yang tidak hanya terampil dalam bidang akademik, tetapi juga memiliki pola pikir kritis, analitis, dan bertanggung jawab secara sosial. Salah satu tujuan utama dari keberadaan perguruan tinggi adalah menciptakan pemuda yang mampu berpikir kritis terhadap berbagai isu sosial, termasuk persoalan kekerasan seksual yang marak terjadi di lingkungan pendidikan.


Pemuda yang berpola pikir kritis diharapkan tidak hanya mampu menganalisis masalah secara mendalam, tetapi juga berani berbicara dan mengambil tindakan terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka. Kemampuan berpikir kritis ini penting dalam memahami akar dari kekerasan seksual, baik yang terjadi di kampus maupun di masyarakat umum, serta mengembangkan solusi yang tidak hanya reaktif, tetapi juga preventif.


Kekerasan seksual di lingkungan kampus sering kali terjadi sebagai akibat dari relasi kuasa yang tidak seimbang dan kurangnya pemahaman tentang hak-hak asasi manusia, terutama hak untuk merasa aman di tempat belajar. Dalam hal ini, pendidikan di perguruan tinggi harus diarahkan untuk menciptakan suasana kampus yang inklusif, aman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan seksual. Dengan membekali mahasiswa dengan wawasan kritis dan kesadaran akan isu-isu gender serta hak-hak individu, perguruan tinggi berperan aktif dalam mengurangi dan mencegah kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan akademis.

Mahasiswa sebagai agen perubahan diharapkan mampu mengidentifikasi kekerasan seksual sebagai bentuk pelanggaran yang serius dan aktif terlibat dalam upaya penanggulangannya, baik melalui pendidikan, advokasi, maupun solidaritas antar sesama mahasiswa. Dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu, tetapi juga wadah untuk menciptakan generasi muda yang kritis, peduli, dan berdaya dalam memerangi kekerasan seksual serta mewujudkan lingkungan akademik yang lebih aman dan adil.


Tentu banyak pertanyaan mengapa pada akhirnya perempuan yang seringkali menjadi korban, menurut buku Feminist Advocacy and Gender Equity in the Anglophone Caribbean: Envisioning a Politics of Coalition  karya Michelle V , bahwasannya penulis menganalisa beberapa penyebab perempuan seringkali menjadi korban kekerasan seksual. 

Penyebab pertama  yaitu norma sosial dan budaya patriarkal yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat hal ini dapat menciptakan lingkungan dimana kekerasan terhadap perempuan dianggap normal atau bahkan dapat diterima. 

Penyebab yang kedua yaitu adanya ketidakadilan sistem hukum dimana menunjukkan bahwa sistem hukum sering kali tidak responsif terhadap kasus kekerasan seksual, proses hukum yang panjang dan stigma terhadap korban menghalangi perempuan untuk melapor, sehingga pelaku sering kali tidak dihukum. 

Penyebab yang ketiga adanya kesenjangan ekonomi yaitu ketidakberdayaan ekonomi  yang juga berkontribusi pada kerentanan perempuan, banyak perempuan yang bergantung secara finansial pada pasangan atau keluarga, sehingga mereka enggan melawan atau melaporkan kekerasan karena takut kehilangan dukungan ekonomi. 

Penyebab yang keempat  yaitu kurangnya representasi perempuan dalam politik dimana peran kepemimpinan terpinggirkan dalam posisi formal, kurangnya representasi perempuan di tingkat politik membuat pengambilan keputusan berakibat pada kebijakan yang sering kali tidak mencerminkan kebutuhan dan perspektif perempuan, sehingga memperparah ketidakadilan gender


Pandangan perempuan terhadap kekerasan seksual di kampus sering kali dipenuhi dengan rasa takut, trauma, dan ketidakpercayaan terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka. Kekerasan seksual di kampus tidak hanya melibatkan pelanggaran fisik, tetapi juga mencerminkan bias gender dan norma sosial yang merugikan korban kekerasan seksual.

Banyak korban merasa bahwa kampus tidak selalu memberikan ruang yang aman untuk melaporkan atau menangani kasus kekerasan seksual. Kekhawatiran terhadap stigma, victim blaming, serta dampak negatif terhadap studi dan karier sering kali membuat mereka enggan melaporkan kejadian tersebut. Selain itu, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, serta kurangnya pemahaman mengenai kekerasan seksual, memperparah situasi, terutama ketika pelaku berada dalam posisi berwenang.


Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di kampus sering kali merasa diabaikan oleh institusi pendidikan, yang kerap kali tidak memiliki mekanisme pelaporan yang jelas atau kebijakan yang berpihak pada korban. Ini menciptakan lingkungan di mana kekerasan seksual dianggap normal atau tidak cukup serius untuk ditindaklanjuti. Padahal, yang diinginkan oleh para korban adalah dukungan, empati, dan sistem yang memulihkan hak-hak mereka tanpa harus khawatir menghadapi intimidasi atau pembalasan.

Dengan adanya kebijakan seperti Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, diharapkan perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan korban kekerasan seksual. 


Sebagai perempuan, penting untuk merajut kembali rasa aman melalui pembangunan solidaritas di antara sesama, karena kolaborasi ini dapat memperkuat ketahanan kolektif dan memfasilitasi dukungan efektif dalam menghadapi isu kekerasan seksual. Untuk mencapai tujuan ini, langkah pertama yang perlu diambil adalah menerapkan program pendidikan holistik yang mendalam tentang kekerasan seksual, termasuk hak-hak perempuan dan strategi pencegahan, melibatkan mahasiswa dan staf di semua level. Selain itu, kampanye kesadaran harus diorganisir untuk mempromosikan pemahaman tentang kekerasan seksual dan pentingnya solidaritas dalam komunitas. 

Selanjutnya, universitas perlu menyediakan akses ke layanan konseling yang aman dan rahasia, serta pendampingan bagi korban untuk mendapatkan dukungan emosional dan praktis, sambil membentuk kelompok pendukung yang memberdayakan perempuan untuk berbagi pengalaman dan membangun jaringan solidaritas. 

Mendorong reformasi kebijakan kampus juga sangat krusial; universitas harus mengadopsi dan menegakkan kebijakan yang jelas mengenai kekerasan seksual, termasuk prosedur pelaporan yang aman, serta mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat administrasi. 

Selain itu, membangun koalisi antara organisasi mahasiswa,satgas PPKS, LSM, dan lembaga pemerintah akan menciptakan program yang lebih efektif dalam menanggapi kekerasan seksual, diikuti dengan pelatihan bagi semua pihak terkait tentang pencegahan dan penanganan masalah ini untuk membangun budaya saling menghormati. 

Terakhir, investasi dalam infrastruktur keamanan di kampus, seperti peningkatan pencahayaan dan patroli keamanan, sangat penting, di samping penyediaan layanan transportasi yang aman, terutama di malam hari, untuk mengurangi risiko kekerasan. Dengan menerapkan rekomendasi ini, diharapkan perempuan dapat merajut kembali rasa aman dan berdaya dalam menghadapi kekerasan seksual, menciptakan lingkungan kampus yang lebih inklusif dan aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun