Mereka Gantungkan Cita-Cita di Atas Langit Panti Asuhan Sentosa
Oleh Fitri*
Pagi Minggu menjelang siang, 9 April 2017 yang lalu, rutinitas karbon dioksida sisa pembakaran kendaraan bermotor yang memanaskan lubang pernafasan. Lalu lalang kendaraan besar seperti truk, tak mau kalah turut berjejal di antara kendaraan transportasi umum dan pribadi, menghembuskan gumpalan-gumpalan debu di sepanjang Jalan Brigjen H Hasan Basri Kayutangi.
Kota Banjarmasin hanya memiliki 6 persen RTH (Ruang Terbuka Hijau) publik dari total luas 98,46 kilometer persegi. Padahal setiap daerah diwajibkan memiliki RTH seluas 20 persen dari luas wilayah yang ada, dan 10 persen RTH privat. Ini sudah diamantkan dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
#
Sekitar pukul 09.45 Wita, aku berangkat bersama Nina, berboncengan menaiki sepeda motor menuju depan Indomaret Kayutangi, untuk berkumpul dengan teman-teman Lanting Sahabat Anak Berkebutuhan Khusus (LanSa ABK) yang lain, agar bersama-sama menuju panti yang akan kami kunjungi, yaitu Panti Asuhan (PA) Sentosa.
Terik mentari pagi ini terasa membelenggu raga. Kami terhenti di lampu merah persimpangan jalan, simpang 4 menuju Jalan Belitung. Menunggu pergantian warna lampu bersama hembusan karbon dioksida. Detik-detik menunggu, sesaat pikiran berkelana mengikuti pandangan mata, menatap Kota Banjarmasin yang kian penuh dengan belantara beton dari gedung-gedung besar dan tinggi, milik orang-orang yang berada!
Wilayah Kota Banjarmasin adalah tanah rawa (3°,15 sampai 3°,22 Lintang Selatan dan 114°,32 Bujur Timur) mempunyai ketinggian tanah sekitar 0,16 m di bawah permukaan laut dan hampir seluruh wilayah digenangi air pada saat pasang, apalagi saat hujan lebat. Apalagi tiap tahun, ketinggian air laut semakin meningkat!
Jika air pasang dalam, maka sebagian besar wilayah daratan kota terendam air, tetapi setelah air laut surut wilayah ini masih terendam, lantaran air tidak cepat turun ke laut karena sungai-sungai yang ada sudah rusak atau sudah mati, akibat sidementasi, sampah, limbah rumah tangga, limbah industri, dan limbah alam.
Yang lebih memprihatinkan adalah banyaknya rumah-rumah penduduk di pinggir sungai yang menjorok jauh ke tengah sungai, sehingga sungai kian mengecil dan akhirnya menghilang. Selain itu banyak pula sungai-sungai di Banjarmasin yang menjadi trotoar dan saluran got kecil, akibat perluasan jalan yang tidak terencana dengan baik. Kota Banjarmasin yang dijuluki Kota Seribu Sungai, kini hanyalah tinggal nama!
Sebenarnya, Kota Banjarmasin mempunyai Peraturan Daerah (Perda) Rumah Panggung Pencegah Banjir. Daerah resapan air yang berkurang adalah salah satu masalah yang di hadapi Banjarmasin, daerah resapan yang berkurang membuat pemerintah kota membuat Perda Nomor 14 tahun 2009 tentang Bangunan Panggung, kutipan dari perda tersebut yaitu :