Sepasang Sepatu Indah Itu Bukan Untukku
Membaca judulnya mungkin kurang terlintas bahwa yang akan saya tulis adalah hasil renungan seorangIbu rumah tangga yang beberapa kali terlibat rumpian dengan komunitasnya, Emak penjemput sekolah anaknya. Dari delapan tahun yang lalu, kegiatan rutin menjemput anak sekolah itu memungkinkan saya untuk terlibat dalam obrolan seputar Ibu-ibu. Banyak ragam yang diceriterakan, dari masak-memasak, dunia anak bahkan tak sengaja menyerempet tentang kisah para bapaknya anak-anak.
Ada hal yang tak baik memang, membicarakan tentang pasangan hidup kita sebenarnya tak pantas menjadi konsumsi publik. Membanding-bandingkan pasangan kita dengan pasangan orang lain bisa memicu kecemburuan, ketidaksyukuran karena merasa pasangan kita kok tak sebaik pasangan dia. Kecenderungan membicarakan pasangan hidup di forum seperti ini ternyata seperti hal yang lumrah.Kita mencoba menghindar, rasanya kok sekedar menjadi teman yang mau mendengarkan saja kok susah. Rela menjadi pendengar yang baik, kok ya rawan ikut terbawa arus,ikut-ikutan merumpi obrolan senada.
Bila yang kita dengar adalah cerita dari Ibu yang belum bahagia, tak jarang yang lain menimpali kalau suami saya gak gitu, deh. Bukankah ini semakin membakar dukanya. Saya juga kadangkala tak sadar menceriterakan kebaikan-kebaikan suami saya, yang ternyata justru hal seperti itu akan menambah daftar pemicu kegagalan menuju keluarga yang bahagia. Ada contoh kasus, pernah suatu ketika tanpa sengaja saya menceriterakan bahwa bapaknya anak-anak setiap malam minggu hampir selalu mengajak kami makan di luar, kepada seorang Ibu yang biasa curhat ke saya. Si Ibu tadi bilang, “seumur-umur suami saya belum pernah mengajak kami makan di luar, bahkan sekedar makan bakso di warung bakso,tujuh belas tahun kami menikah!”. Saya pikir hanya sampai di situ, ternyata keesokan harinya si Ibu mengadu, bahwa suaminya marah besar saat ia mengatakan, “coba seperti bapaknya si Anu, seminggu sekali ngajak keluarganya jalan-jalan makan di luar”. Saya tersentak, astaghfirullah... lidah ini susah amat dijaga, selalu tak jarang menceriterakan hal yang tak perlu.
Seandainya saja ada kesadaran, bahwa seperti apapun pasangan hidup kita, dialah pilihan Tuhan yang paling pas dan cocok untuk kita.Karena sudah menjadi sunatullah bahwa kita dikaruniai hati yang berbolak-balik, karena itulah, kita harus memperkokoh iman,makin rajin membaca, makin rajin belajar mengendalikan diri agar mampu beradaptasi dengan keadaan yang kadang berubah-ubah dari pikiran /hati pasangan hidup kita. Kita ibarat sepasang kaki dan pasangan hidup kita adalah sepasang sepatu, yang sebagus apapun kwalitas sepatu kita, bila tidak pas dengan ukuran kaki kita, maka tidak akan bisa dipakai. Biarlah sederhana model sepatu kita, biarlah kalah merk sepatu kita dengan milik orang, tetapi bila ukurannya cocok dengan kaki kita, kemudian kita bisa berjalan gemulai dengan langkah pasti dan hati-hati, insya Allah perjalanan kita akan selamat sampai tujuan, yaitu keluarga yang berkualitas, keluarga yang tangguh, penuh bahagia dan penuh cinta kasih sayang. Jagalah sepatu kita untuk tetap kuat, bukan kita obral aromanya hingga baunya membuat resah orang di sekitarnya. Indah dan bagus memang sepasang sepatu itu, tetapi itu bukan untuk kakiku ini. Katakanlah, sepatu indah itu bukan untukku...
En A Er
05/03/2013
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI