Indonesia gak jago sepakbola. Ini fakta. Tapi kalau mau dicari-cari hebatnya, katanya sih.. komentator sepakbola negeri ini jempolan. Sebenarnya ini cuma sindiran. Tapi kemudian diakui atau tidak, memang ada komentator-komentator favorit di Indonesia. Ini mutlak soal selera. Namun kesohoran nama M. Kusnaeni dan Tommy Welly rasanya cukup untuk disodorkan sebagai buktinya.
Nyatanya, menjadi komentator tidak semudah yang dibayangkan. Ketika TV One masih menggunakan merk Lativi, mereka pernah menyiarkan siaran ISL dengan sangat buruk. Tidak ada tik-tok yang baik antara pemandu acara dengan komentator. Ditambah lagi dengan kehadiran perempuan - yang entah tujuannya apa - ikut nimbrung mengomentari jalannya pertandingan, namun jelas terasa tidak memahami apa yang dia ucapkan. Terasa sekali dia disodori skrip dengan istilah sepakbola yang asing baginya kemudian dibaca seperti anak SD yang terbata-bata mengeja. Sangat buruk. Mungkin director acaranya merasa dengan demikian setidaknya "si pemanis" ini menjadi agak berguna ketimbang diam saja. Padahal sumpah, seribu kali lebih baik jika dia hanya duduk manis, tersenyum, dan menutup mulutnya.
Mengerti sepakbola cuma satu hal. Untuk menjadi komentator sepakbola yang baik butuh lebih dari itu. Beberapa fans Barcelona pernah mencak-mencak gara-gara Rahmad Darmawan, yang ketika itu didaulat menjadi komentator La Liga di salah satu stasiun televisi Trans Crop., terasa tidak menguasai materi. Di lain kesempatan teman saya yang lain juga kecewa dengan kualitas pembawa acara dan komentator di pertandingan La Liga yang disiarkan stasiun televisi ini. Pembawa acara dan komentator yang terasa canggung karena harus berdiri sambil memegang tablet membuat emosi penonton membuncah untuk segera menggapai remote TV dan mengganti saluran.
"Famous but incompetent," cela teman saya itu.
Kalau boleh berteori, komentator di televisi Indonesia awalnya kebanyakan berasal dari wartawan media cetak. Dengan pengetahuan dan wawasan sepakbola yang cukup, seorang wartawan memang sangat ideal untuk menuntun pemirsa memahami kejadian demi kejadian di lapangan.
Namun kini, komentator bisa dari mana saja. Komentator bisa jadi adalah selebritis yang - ngakunya - gila bola. Komentator di televisi bisa juga adalah pemain atau mantan pemain sepakbola itu sendiri. Bisa juga komentator sepakbola adalah pelatih, seperti contoh Rahmad Darmawan di atas.
Apapun latar belakangnya, saya rasa setidaknya ada 3 syarat yang harus dipenuhi oleh seorang komentator:
- Mengerti aturan yang ada di sepakbola; peraturan pertandingan, peraturan liga, peraturan transfer pemain, dll
- Punya wawasan sepakbola; tahu sejarah klub, pemain, supporter, dll
- Mampu berkomunikasi secara menarik.
Sore tadi, saya mendapati Jimmy Napitulu menjadi komentator pada laga derby Persib - Pelita Bandung Raya. Jimmy Napitupulu yang sebelumnya lebih dikenal sebagai wasit, kini menjadi komentator sepakbola. Gak kebayang gimana rasanya kalau menonton pertandingan Liga Italia, kemudian yang menjadi komentator adalah Pierluigi Collina. Atau bagaimana jika Howard Webb menjadi komentator pertandingan Premier League. -asal gak pas lagi pertandingan Manchester United aja sih..-
Terus terang, cukup menarik juga mendengarkan ocehan Jimmy Napitulu. Walaupun kadang ia mengomentari suatu hal terlalu panjang seperti sedang memberi kuliah, namun melihat pertandingan dari mata seorang wasit boleh dibilang adalah ide jenius dari tim produksi siaran pertandingan tadi.
Jika dulu-dulu yang dibahas komentator biasanya hanya berkaitan dengan analisis pertandingan, prediksi strategi, susunan pemain, dan hal-hal teknis yang dikembangkan tim, maka Jimmy Napitulu lebih ditugaskan untuk menganalis keputusan-keputusan yang diambil wasit.