*Tulisan ini diambil dari blog pribadi saya sebagai tanggapan atas Opini Benjo Steward dengan judul "PSSI Milik FIFA Atau Anggota?" Saya hadir di sini bukan untuk berpolemik atau berdebat. Hanya ingin meluruskan beberapa tuduhan Benjo yang tidak benar atas saya sekaligus untuk memperjelas maksud tulisan saya sebelumnya di goal.com dengan judul "PSSI dan Paham Berorganisasi". Jika ada yang ingin berkomentar tentu saja saya persilahkan, tapi mungkin tidak akan saya tanggapi. Karena, sekali lagi, saya memang tidak ingin berdebat. Berawal dari sebuah tulisan saya yang dimuat di goal.com Indonesia (PSSI dan Paham Berorganisasi), kemudian muncul counter tulisan di Kompasiana yang ditulis oleh Benjo Steward (PSSI, Milik FIFA Atau Milik Anggota?). Sayangnya, tulisan tersebut tidak diawali dengan pemahaman yang benar atas tulisan saya sebelumnya. Untuk kali ini, mohon agar bisa membaca tulisan saya dengan lengkap. Pada akhir tulisan, Benjo menarik kesimpulan (yang saya tulis ulang secara verbatim), “ada sebuah energi propaganda yang dibangun secara sistematis dan masif untuk menyamaratakan derajat eksistensi PSSI yang dipimpin La Nyala Mataliti dengan PSSI yang diakui oleh FIFA.” Terus terang saya bingung dengan maksud “sistematis dan masif”. Kalau tulisan saya dituduh sistematis okelah saya akui. Bagaimana mungkin membuat tulisan yang tidak sistematis? Tapi saya menolak jika saya dituduh telah melakukan propaganda secara masif. Tulisan “PSSI dan Paham Berorganisasi” adalah satu-satunya tulisan saya yang membahas soal kisruh PSSI (sebelum tulisan ini terbit tentunya). Kebetulan saja Goal.com Indonesia kemudian tertarik untuk menayangkannya. Lalu bagaimana mungkin satu tulisan bisa dianggap sebagai usaha yang masif? Benjo kemudian mempermasalahkan pandangan saya yang menilai eksistensi PSSI La Nyala sama pentingnya dengan PSSI Djohar Arifin. PSSI Djohar dilegitimasi oleh FIFA, sedangkan PSSI La Nyala dilegitimasi oleh anggotanya. Legitimasi dari FIFA maupun dari anggota menurut hemat saya, sama pentingnya. Legitimasi FIFA tidak berarti apa-apa jika kemudian tidak disertai legitimasi dari anggotanya. Apakah tidak malu jika kemudian bertanding atas nama Indonesia namun di saat yang sama dicemooh oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebaliknya, legitimasi dari anggota tanpa legitimasi FIFA juga akan membawa sepakbola Indonesia jalan di tempat. Benjo lebih banyak menyorot sah tidaknya KLB Ancol. Benjo juga membawa beberapa pasal dari Statuta PSSI yang mengatur soal Kongres Luar Biasa. Anehnya, ternyata statuta yang dipegang oleh Benjo ternyata tidak sama dengan statuta yang saya pegang. Pada statuta yang dimiliki Benjo, masalah KLB ada pada pasal 10, sedangkan pada statuta yang saya pegang, KLB ada di pasal 31. Isi dari pasal-pasal itu pun berbeda. Ternyata statuta yang saya pegang adalah statuta yang dihasilkan melalui Kongres Bali, 13 Februari 2009. Statuta ini telah disetujui FIFA dan sampai saat ini pun (7 September 2012; 13:42 WIB, mungkin setelah ini langsung diganti statutanya?) masih bisa didownload di website PSSI Djohar Arifin (Pada Menu Utama, pilih PSSI >> Statute). Lucu, padahal di awal kekisruhan PSSI, Djohar dengan lantang mengatakan bahwa hasil Kongres Bali tidak sah. Lalu mengapa masih ada di website PSSI-nya? Maka tidak perlulah saya menanggapi argumen Benjo karena berdasarkan pada Statuta yang keliru.
Adalah salah jika kemudian ada yang menganggap saya pro La Nyala. Tapi memang saya akui, saya merasa lebih baik jika Djohar Arifin mundur dari jabatan Ketua PSSI. Tapi saya bukan pemilik PSSI. Sama seperti Benjo. Kita semua hanya penggemar PSSI. Penggemar yang terkadang memiliki sense of belonging terlalu besar dari seharusnya. Pemilik PSSI adalah anggota mereka sendiri. FIFA pun, sekali lagi saya tekankan, tidak memiliki kuasa untuk mengatur siapa yang menjadi Ketua Umum PSSI. FIFA hanya bisa memaksa PSSI meratifikasi aturan-aturan FIFA ke dalam Statuta PSSI. Itupun harus melalui mekanisme Kongres. Artinya FIFA menghormati kedaulatan anggota PSSI. Aturan FIFA diadopsi oleh PSSI bukan atas keterpaksaan, namun oleh rasa tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam persepakbolaan dunia. Melihat makin meruncingnya konflik dari kedua pihak yang rasanya semakin mustahil untuk disatukan, maka saya mencoba memberi solusi. Solusi yang saya berikan pada tulisan “PSSI dan Paham Berorganisasi”, sebagaimana yang tertuang pada paragraf terakhir, bukanlah bentuk dukungan pada salah satu pihak. Namun sebuah cara yang elegan, sesuai dengan statuta, dan harusnya bisa disepakati oleh semua pihak, baik oleh anggota, PSSI kubu Djohar, PSSI kubu La Nyala, maupun FIFA yaitu: Kongres Luar Biasa. Kongres Luar Biasa yang digelar nanti tentu harus dihadiri oleh FIFA, tidak seperti KLB Ancol yang hasilnya tidak digubris FIFA. Kongres nanti juga harus dihadiri oleh anggota yang sah, bukan 26 caretaker pengurus provinsi dari total 33 pengprov yang ada. Agar lebih fair, Anggota kongres yang digelar haruslah anggota yang sama dengan anggota yang telah memberi mandat kepada Djohar Arifin di Solo lalu. Melalui kongres ini, semua pihak bisa melihat, apakah Djohar Arifin masih diakui anggotanya atau tidak. Masalahnya, berani tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H